OPINISULTENG

Upaya Pengentasan Kemiskinan di Kota Palu

Mohamad Rivani, S.IP, M.M. (FOTO : ISTIMEWA)
Dilihat

SEBAGAI ibukota Provinsi Sulawesi Tengah, Kota Palu merupakan etalase dan cerminan pembangunan di Provinsi yang terkenal menjadi salah satu produsenNikel terbaik dunia di Republik ini. Olehnya, sudah seharusnya Kota Palu menjadi daerah paling terdepan dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM), infrastruktur, pengurangan angka pengangguran dan pengentasan kemiskinan.Secara makro, pada tahun 2020 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Indeks Pembangunan manusia (IPM) Kota Palu sebesar 81,47 atau masuk dalam klasifikasi sangat tinggi dan tertinggi kedua setelah Kota Makassar di Pulau Sulawesi, yang mempunyai IPM sebesar 82,25.Nilai IPM Kota Palu yang masuk klasifikasi sangat tinggi terlihat kontras dengan pengangguran Kota Palu yang angkanya juga paling tinggi diantara Kabupaten/Kota se Sulawesi Tengah. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Kota Palu pada tahun 2020 tercatat sebesar 8,38 persen, atau lebih tinggi dari TPT Sulawesi Tengah pada bulan Februari 2021 yang hanya sebesar 3,73 persen.
Namun yang menarik adalah rendahnya angka kemiskinan Kota Palu, karena hanya 6,80 persen atau paling rendah diantara Kabupaten/Kota Se Sulteng.Jika ditelisik lebih dalam lagi memang terdapat korelasi yang kuat antara tingginya IPM terhadap Kemiskinan suatu daerah.

Rasidin K dan Bonar M (2004) mengatakan, bahwa seseorang yang memiliki produktivitas yang tinggi pada akhirnya akan memperoleh kesejahteraan yang lebih baik, hal ini dapat terlihat melalui peningkatan pendapatan maupun konsumsinya. Rendahnya produktivitas kaum miskin dapat disebabkan oleh rendahnya akses mereka untuk memperoleh pendidikan.Kemudian definisi lainnya dikemukakan oleh Lanjouw, dkk (dalam Whisnu Adhi Saputra 2011), yang menyatakan bahwa pembangunan manusia di Indonesia identik dengan pengurangan kemiskinan.

Investasi di bidang pendidikan dan kesehatan akan lebih berarti bagi penduduk miskin dibandingkan penduduk tidak miskin, karena bagi penduduk miskin aset utama adalah tenaga kasar mereka.

Adanya fasilitas pendidikan dan kesehatan murah akan sangat membantu untuk meningkatkan produktivitas, dan pada akhirnya meningkatkan pendapatan. Dari kedua teori yang disebutkan,terlihat bahwa,tingginya IPM Kota Palu berdampak pada rendahnya angka kemiskinan di Kota yang berjuluk Kota Kaledo ini. Akan tetapi hal itu tidaklah cukup membuat masyarakat miskin saat ini bisa serta merta keluar dari kemiskinannya, dibutuhkan cara lain yang lebih ekstrem dengan pola Radical Change dalam pengentasan kemiskinan yang lebih cepat dan menyentuh ke akar persoalan yang lebih teknis.

Berbicara kemiskinan Kota Palu,memang sangat kompleks dan multidimensi. Karena lebih sulit diturunkan dibanding Kabupaten lain yang ada di Sulawesi Tengah, satu alasan diantaranya adalah karena angkanya sudah kecil, sehingga menurunkannya harus benar-benar dengan program yang tepat sasaran dan tidak boleh asal-asalan. Lantas bagaimana cara mengentaskan kemiskinan di Kota Palu? Sehingga kemiskinan ataupun masyarakat yang tergolong klasifikasi sangat miskin dan miskin bisa naik kelas dan tidak miskin lagi. Paling tidak, terdapat beberapa langkah yang bisa ditempuh oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Palu dalam upaya penanganan pengentasan kemiskinan di Kota Palu.

Langkah pertama, adalah dengan menggunakan data yang sama dalam mengklasifikasikan penduduk miskin, tidak boleh menggunakan data yang berbeda antar Organisasi Pemerintah/Perangkat Daerah (OPD). Data tersebut terdiri dari dua jenis yaitu, data makro yang dikeluarkan oleh BPS dan berfungsi sebagai alarm serta Kompas,kemudian Data Mikro By Name By Adress, yang dikeluarkan oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Yang saat ini dalam bentuk Basis Data Terpadu (BDT) di kementrian Sosial, Dinas Sosial Provinsi dan Dinas Sosial Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, termasuk Dinas Sosial Kota Palu, sehingga sejalan dalam pemahaman mengenai definisi kemiskinan dan bagaimana mengeksekusinya.

Langkah kedua, adalah dengan mengidentifikasi karakteristik masyarakat miskin yang ada di Kota Palu mengenai kebiasaan, usia mereka, apakah masuk dalam golongan usia produktif dan dapat melakukan pekerjaan, atau sudah tidak produktif lagi, kemudian memetakan pekerjaan yang mereka miliki, serta dimana sebaran penduduk miskin tersebut tinggal,hal ini perlu dilakukan agar kita tahu apa yang mereka butuhkan dan bagaimana menyediakan kebutuhan itu. Jika para penduduk sangat miskin dan miskin tersebut sudah tidak produktif lagi maka yang diberdayakan adalah keluarganya (anak-anaknya yang masih usia produktif).

Langkah ketiga, adalah dengan membuatkan masyarakat yang masuk dalam kategori keluarga sangat miskin dan miskin ini semacam inkubator bisnis berbasis kawasan, misalnya, jika kemiskinan itu di daerah pesisir maka masyarakat yang sangat miskin atau miskin dikawasan tersebut bisa dibantu denganmenghadirkan perahu tangkap/alat penangkap ikanyang menjadi sarana mereka dalam menangkap ikan dilaut, bisa juga dengan program pembudidayaan rumput laut yang pembudidayaannya diajarkan secara langsung oleh pembudidaya yang telah berhasil, bukan hanya sekedar teori dari mentor yang bukan pelaku usaha, kemudian menjamin keberlangsungan usaha mereka sampai mereka mandiri.

Dan jika misalkan masyarakat sangat miskin dan miskin berada di daerah pertanian, maka yang dilakukan adalah bagaimana mengajarkan intensifikasi lahan, agar hasil pertanian yang didapat bisa optimal ditengah keterbatasan lahan pertanian yang ada di Kota Palu, atau dengan mengajarkanpenanaman komuditas tanaman yang mempunyai nilai jual tinggi, sehingga bisa berdampak pada peningkatan perekonomian masyarakat tersebut. Setelah itu, yang harus dilakukan pemerintah adalah memasarkan hasil pertanian tersebut ke pihak lain secara kontinyu sampai masyarakat yang masuk dalam kategori sangat miskin dan miskin mampu melakukannya sendiri, yaitu menjual hasil pertaniannya dengan harga yang pantas dan mudah.

Kemudian langkah yang keempat adalah menghadirkan regulasi yang berpihak kepada masyarakat yang sangat miskin dan miskin tersebut agar mereka memiliki payung hukum dan kepastian dalam berusaha.

Pertanyaan selanjutnya yang muncul, apakah PEMDA Kota Palu dapat mengerjakannya sendirian? Tentu tidak, dibutuhkan kerjasama dari semua stake holder yang berkompeten, misalnya, Perbankan, Dunia Usaha/Pelaku Usaha, Asosiasi-asosiasi usaha semisal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Kerukunan Usaha Kecil dan Menengah Indonesia (KUKMI), dan lain-lain.

Sudah seharusnya ada komunikasi dan kolaborasi serta sharing ilmu dari setiap stakeholder terkait, dengan Pemerintah Kota Palu, mengenai program pengentasan kemiskinan. Bukan saatnya lagi yang menangani kemiskinan di Kota Palu hanya Pemerintah Kota Palu saja, akan tetapi bisa diperluas dengan mengajak stake holder yang berkompeten seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Hal ini penting agar tercapai kesepahaman dalam mengentaskan kemiskinan di Kota Palu yang sampai hari ini belum tuntas. Perlu diingat bahwa program Bantuan Langsung Tunai (BLT) Program Keluarga Harapan (PKH), Program Sembako dan BLT Covid-19 sifatnya hanya pemenuhan kebutuhan dasar yang tidak akan mampu mengeluarkan penduduk miskin dari jurang kemiskinan, karena program-program tersebut hanya bersifat sementara dan insidental saja.
Kita berharap agar Pemerintah Kota Palu dapat membuat satu formulasi yang tepat untuk mengentaskan kemiskinan di Kota Palu yang kita cintai bersama ini, bentuknya sudah tentu program yang tepat guna dan tepat sasaran. Kapan itu bisa terealisasi? Mudah-mudahan secepatnya.

*) Penulis adalah pegawai BPS Kota Palu, dan pemerhati masalah sosial dan ekonomi Sulawesi Tengah.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.