SEBANYAK 16 pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemkab Buol yang diberhentikan dengan tidak hormat karena kasus tindak pidana korupsi, berencana mengadu ke Ombudsman dan instansi penegak hukum.
Langkah ini ditempuh sebagai bentuk perlawanan terhadap keputusan bupati yang dinilai tidak adil dan cenderung tidak mempertimbangkan pengabdian mereka selama ini sebagai PNS.
Selain protes dengan pemecatan, para PNS tersebut tidak terima dengan dikeluarkannya surat keterangan miskin atas nama mereka. Surat keterangan miskin tersebut diterbitkan pemerintah desa atau kelurahan, tempat para PNS tersebut berdomisili. Kamarudin Lasuru, salah seorang PNS yang dipecat mengaku dizalimi karena dipaksa diberi status miskin secara sepihak.
Terkait dengan pemecatan dan dikeluarkannya surat keterangan miskin, Bupati Buol Amirudin Rauf punya alasan sendiri. Menurutnya, pemberhentian dengan tidak hormat dilakukan sebagai jalan terakhir. Setelah Pemkab berkonsultasi dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) diperintahkan untuk dilakukan pemberhentian dengan tidak hormat. Keputusan ini diperkuat surat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mengenai dikeluarkannya surat keterangan miskin, menurut bupati, terkait dengan kewajiban pengembalian keuangan negara yang dibebankan kepada para terpidana korupsi. Karena sudah dipecat dan tidak lagi menerima penghasilan sebagai PNS, mereka kesulitan melakukan pengembalian kerugian keuangan negara tersebut. Dengan demikian penerbitan surat keterangan miskin dimaksudkan Pemkab agar para PNS yang dipecat tersebut dilepaskan dari beban pengembalian.
Tindakan yang dilakukan bupati cukup rasional adanya. Berdasarkan undang-undang aparatur sipil negera, seorang PNS dapat diberhentikan karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum. Tindak pidana korupsi yang dilakukan ASN tentu berhubungan dengan jabatan.
Adapun penerbitan surat keterangan miskin, kemungkinan dimaksudkan untuk membersihkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berulang dari waktu ke waktu. Sepanjang tidak dikembalikan, maka selama itu pula akan selalu muncul sebagai temuan. Maka penerbitan surat miskin untuk menegaskan bahwa mereka tidak mampu mengembalikan dimaksudkan untuk mengakhiri temuan tersebut.
Dari perspektif ini, tindakan bupati sebenarnya bermaksud membantu para PNS yang dipecat. Meskipun dalam tindakan tersebut, terselip pula kepentingan Pemkab untuk bersih dari temuan-temuan yang berulang-ulang. Pada titik inilah, muncul ketersinggungan sejumlah PNS yang sudah dipecat kemudian dinyatakan miskin. Keberatan mereka atas persoalan ini, sangat dapat pula dimengerti. Karena di situ ada persoalan harkat dan martabat sebagai manusia.
Namun akan lebih bijak jika para PNS yang dipecat tersebut dapat menerima dengan besar hati. Jika tidak terima maka dapat mengajukan langkah-langkah hukum. Pemberhentian dengan tidak hormat bahkan dapat diuji melalui pengadilan tata usaha negara (PTUN). Jika yakin bahwa dasar pemecatannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Mereka sebaiknya fokus saja untuk membuktikan hal ini dan tidak perlu terlalu jauh mempersoalkan predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) yang diberikan BPK terhadap Pemkab Buol. Jika ini dilakukan, sama halnya dengan memperlebar lapangan permainan. Akibatnya, mereka justeru tidak fokus pada suatu tuntutan yang diharapkan mengubah keadaan. (**)