TAJUK

TAJUK | Program Padat Karya Perlu Diaktifkan Lagi

Dilihat

PEMKOT Palu pernah melaksanakan program zero poverty yang salah satunya diimplementasikan melalui kegiatan padat karya. Warga yang terkategori miskin atau yang tidak memiliki pekerjaan tetap direkrut melalui pemerintah kelurahan dan kemudian dipekerjakan. Sasaran pekerjaan dari peserta program ini diarahkan untuk membersihkan ruang-ruang publik yang tidak terjamah petugas kebersihan maupun warga. Mulai dari jalan-jalan utama, jalan lingkungan, hingga taman pemakaman umum dibersihkan secara bergotong royong.

Setelah pergantian walikota, program ini pun mulai meredup pelan-pelan. Program ini dianggap kurang efektif sehingga digagas suatu program baru yang dianggap lebih tepat. Masalahnya, ketika Pemkot menganggap program padat karya yang sudah ada sebelumnya kurang maksimal, pemerintah pusat justeru mendorong pemerintah daerah untuk menghidupkan program padat karya. Sesuatu yang sebetulnya sudah pernah dijalankan oleh Pemkot.

Pada pertemuan dengan gubernur, bupati, dan walikota di Istana Negara, Oktober lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan hal tersebut. Bahkan Presiden memberikan arahan secara khusus agar tahun 2018 mendatang, pemanfaatan dana desa lebih banyak digunakan untuk kegiatan padat karya. Program padat karya dianggap tepat dan relevan untuk mendongkrak daya beli masyarakat dan menggairahkan perekonomian di level bawah. Masyarakat butuh lapangan kerja dan penghasilan yang langsung dapat digunakan untuk menopang kehidupan sehari-hari.

Pengurangan jumlah peserta padat karya di Kota Palu sejak awal terkesan tanpa pertimbangan yang matang. Jika alasannya karena program tersebut kurang efektif dan efisien dari aspek penganggaran, harusnya dilihat pula dalam perspektif yang lebih luas. Sebab terlepas dari segala kekurangannya, keberadaan program padat karya pernah membuat kota ini lebih bersih dibanding yang ada saat ini. Kalau pertimbangannya jumlah dana yang dikeluarkan terlampau besar dengan apa yang dihasilkan, rasanya perhitungan dan pendekatan seperti ini perlu diluruskan.

Sebab program padat karya bukan saja untuk menjadikan kota ini lebih bersih tetapi lebih dari itu bagaimana membantu masyarakat yang kesulitan secara ekonomi. Melalui padat karya, mereka dapat memperoleh tambahan penghasilan yang akan dibelanjakan untuk keperluan sehari-hari. Dari belanja yang berputar itulah secara tidak langsung akan merangsang geliat ekonomi di masyarakat. Itu baru dari sisi ekonomi. Dari sisi sosial, kebiasaan bekerja bersama-sama dalam satu tim sangat dekat dengan kebiasaan bergotong royong  sebagai budaya luhur yang kelihatannya sudah hilang di masyarakat kita.

Pada aspek yang lain, warga dengan kehidupan yang relatif termarginalkan akan merasa mendapat perhatian pemerintah dari program tersebut. Jadi manfaat yang diperoleh tidak bisa didekati secara kalkulatif semata. Tentang berapa jumlah anggaran yang dikeluarkan dan berapa luas kawasan yang dapat dibersihkan. Walikota yang bijak tidak akan berhitung untung rugi dengan warganya tetapi akan berpikir bagaimana memberdayakan warganya. Mumpung sedang menjadi program nasional maka Pemkot tidak perlu turun gengsi sekiranya akan menghidupkan kembali program padat karya yang sudah sempat layu. (**)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.