SEJAK terbitnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, problematika ikutannya juga tidak terhindarkan. Di satu sisi, ada penguatan dan pengakuan terhadap desa sebagai entitas penting dalam penyelenggaraan negara. Namun pada sisi yang lain masalah-masalah di desa juga makin kompleks. Karena status dan keberadaan desa makin kuat maka berbagai peluang dan keistimewaan pun diberikan guna terwujudnya desa yang maju, mandiri, dan demokratis. Berbagai fasilitas (kebijakan dan pendanaan) diberikan kepada desa untuk memperkuat posisi masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.
Dalam eksistensi yang demikian, jabatan kepala desa kini menjadi cita-cita dan harapan banyak pihak. Kegairahan baru untuk menjadi kepala desa menguat di masyarakat. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala desa selalu lebih tinggi dibanding pemilihan-pemilihan yang lain. Sebab bagi masyarakat desa, memilih kepala desa adalah ril. Memilih kepala desa adalah memilih pemimpin terdekat. Beda dengan dengan memilih wakil rakyat, wakil daerah, kepala daerah, apalagi presiden. Salah dalam memilih kepala desa akan dirasakan akibatnya secara cepat dan nyata oleh masyarakat.
Kesadaran politik seperti ini sebetulnya sangat positif adanya. Namun sisi-sisi negatifnya juga selalu ada. Setiap gelaran pemilihan kepala desa usai, masyarakat sulit untuk tidak terbelah. Karena hanya berlangsung dalam suatu ruang wilayah yang relatif sempit maka pembelahan itu sangat terasa di masyarakat. Gesekannya cukup keras dan proses pemulihannya pun relatif lama. Bahkan bisa tidak tuntas dalam satu periode kepemimpinan kepala desa terpilih. Dalam kondisi seperti ini maka potensi gesekan di masyarakat setiap saat dapat mengemuka jika muncul hal-hal yang menjadi pemicunya.
Di Desa Towale Kecamatan Banawa Tengah Kabupaten Donggala, ada sejumlaah warga yang nekat menyegel Balai Desa karena ketidakpuasan terhadap kepala desanya. Muncul tuntutan untuk memberhentikan kepala desa dari jabatannya. Dalam situasi seperti ini, pelayanan publik di desa pasti terganggu. Sementara banyak tugas dan agenda yang jauh lebih penting dan kontributif terhadap kesejahteraan masyarakat, seperti pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) bahkan kerja sama antardesa untuk pengembangan usaha bersama, justeru kurang diperhatikan. Desa Towale mungkin bukan kasus tunggal tapi jamak terjadi di berbagai tempat.
Disayangkan karena hal-hal strategis seperti pembentukan BUMDes dan kerjasama antardesa di bidang ekonomi, kemasyarakatan, pelayanan, dan pemberdayaan ditenggelamkan oleh hal-hal yang justeru kontraproduktif dengan maksud undang-undang desa itu sendiri. Saat ini desa jauh lebih disibukkan dengan pemilihan kepala desa. Kemudian lebih disibukkan lagi dengan pengelolaan dana desa yang di berbagai tempat mengalami kebocoran. Narasi tentang desa didominasi oleh berita tentang kepala desa yang tersandung kasus tindak pidana korupsi sehingga dibutuhkan pelibatan anasir-anasir dari luar desa seperti kepolisian dan kejaksaan untuk mengawal dana desa.
Harapan ke depan, desa makin mandiri secara utuh. Masyarakat dan pemerintah desa secara sadar menertibkan diri. Kepala desa dan aparaturnya menjadi pelayan yang melayani masyarakat. Badan Perwakilan Desa (BPD) dan unsur-unsur lainnya menjadi mitra sekaligus pengawas. Pemerintah kabupaten mengambil peran sebagai pembina dan juga mengawasi penyelenggaraan pemerintahan desa. Kelihatannya sejauh ini pemerintah kabupaten belum maksimal melakukan fungsi pengawasan, pemantauan, dan pendampingan sehingga masalah dan konflik di desa masih terus terjadi. (**)