KOTA Palu yang bersih bukan sekadar tekad pemerintah tapi harapan seluruh warga. Maka untuk mewujudkan tekad dan harapan tersebut dibutuhkan peran multipihak. Pemkot dengan seluruh aparaturnya bertugas mendesain suatu kebijakan untuk mewujudkan kota yang bersih. Masyarakat dengan kekuatan sosialnya, turut berperan aktif dan mengambil bagian dalam kebijakan tersebut. Sektor swasta dengan dukungan finansialnya berperan menstimulus kebijakan Pemkot dan partisipasi masyarakat.
Tanpa peran dan kontribusi multipihak akan sulit untuk mewujudkan Kota Palu yang bersih dan hijau. Perang terhadap sampah yang sedang dikampanyekan Pemkot saat ini terkesan masih sebatas jargon. Pemasangan baliho yang memuat foto pejabat Pemkot dengan seragam ala militer sebagai simbol perang terhadap sampah rasanya kurang memberi pesan yang substantif. Sulit mengukur sejauhmana pengaruh foto-foto pejabat berseragam ala militer tersebut untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjadikan sampah sebagai persoalan bersama.
Pemkot mestinya tampil sebagai motor yang dapat menggerakkan partisipasi masyarakat. Tapi bukan dengan cara yang agak narsis dan simbolik. Tekad Pemkot untuk mewujudkan Kota Palu yang bersih semestinya terimplementasi dalam kerangka kebijakan yang terukur. Didukung pendanaannya dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Armada sampah dan titik-titik tempat pembuangan sementara (TPS) mesti ditambahnya jumlahnya. Insentif para buruh sampah juga harus mendapat perhatian. Termasuk menambah jumlah petugas kebersihan agar menjangkau wilayah yang lebih luas.
Volume sampah akan terus bertambah seiring dengan aktivitas masyarakat dan berkembangnya titik-titik permukiman baru. Tanpa tambahan armada maka selamanya akan terjadi kesenjangan antara produksi sampah dengan jumlah sampah yang bisa terangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA).
Terkadang masyarakat sudah kerja bakti di lingkungannya tapi sampah tetap bertumpuk tidak terangkut ke TPA. Artinya partispasi sudah muncul tapi dukungan peralatan dari Pemkot tidak memadai. Bila kondisi ini berulang dan berulang pada akhirnya masyarakat akan kembali apatis karena merasa partisipasinya hanya siasia.
Di sinilah pentingnya Pemkot mengetahui peran yang mesti dilakukan. Siapkan dukungan infrastruktur yang cukup. Armada dan petugasnya, TPS yang menyebar, serta TPA dengan sistem pengelolaan limbah yang standar. Untuk mewujudkan ini semua tidak cukup dengan tekad dan pidato imbauan tapi mesti dengan dukungan politik anggaran. Soal jargon-jargon memerangi sampah, biarlah itu menjadi urusan masyarakat dan terutama komunitas anak-anak muda yang peduli lingkungan. Tidak perlu foto-foto pejabat Pemkot yang disebar di sudut-sudut kota. Ruang publik kita sudah terlalu sesak akhir-akhir ini dengan gambar-gambar seperti itu. (**)