SECARA nasional, saat ini partai-partai politik sedang melakukan konsolidasi untuk menghadapi Pemilu 2019. Inilah kali pertama, pemilu legislatif dan pemilihan presiden/wakil presiden akan digelar bersamaan. Pada tataran daerah, partai-partai pun sedang melakukan konsolidasi menghadapi pemilihan kepala daerah serentak yang akan digelar 27 Juni 2018 mendatang.
Di tengah upaya konsolidasi partai-partai, Partai Golkar justeru dirundung masalah yang cukup serius. Pascapenetapan Setya Novanto, Ketua Umum DPP Partai Golkar, sebagai tersangka dalam kasus e-KTP yang disertai dengan penahanan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), gejolak internal di tubuh partai tersebut makin sulit terbendung.
Meskipun gejolak internal bukan lagi hal baru bagi Partai Golkar tapi kondisi demikian sangat tidak menguntungkan dalam banyak aspek. Sebab dalam setiap gejolak, selalu memunculkan pertikaian baru antarfaksi-faksi yang ada. Walapun benturan dibutuhkan untuk mengukuhkan soliditas tapi benturan yang terus-menerus potensial pula untuk melemahkan dan kemudian melumpuhkan.
Partai ini seakan tidak pernah tenang dalam melakukan konsolidasi. Celakanya karena situasi yang terjadi di pusat, pelan-pelan mulai menular ke daerah. Dualisme kepemimpinan yang pernah terjadi di pusat berimplikasi pula pada perpecahan kader-kader di daerah, kala itu. Implikasi lebih serius ketika partai ini gagal mengusung calon pada Pilkada karena terjadinya dualisme kepengurusan.
Kondisi Partai Golkar Sulteng pun saat ini relatif tidak sesolid ketika masih dipimpin Aminuddin Ponulele. Pasca-musda yang memilih Arus Abd Karim sebagai Ketua DPD I Partai Golkar Sulteng, problem-problem internal justeru bermunculan. Menandakan bahwa pengganti Aminuddin itu tidak cukup memiliki pengaruh dan wibawa yang bisa mempersatukan partai sebagaimana pendahulunya.
Dapat dipahami karena Aminuddin yang berhasil menjaga soliditas selama kepemimpinannya justeru alpa menyiapkan kader penggantinya sehingga regenerasi kepemimpinan tidak berjalan mulus. Di tengah upaya konsolidasi partai-partai lain, Partai Golkar Kota Palu justeru membuka konflik internal dengan menyingkirkan Iqbal Andi Magga selaku Ketua DPRD Kota Palu. Iqbal yang kalah dalam Musda harus menerima kenyataan dilengserkan dari jabatannya di parlemen.
Cara-cara seperti ini meskipun dibenarkan dan sah secara politik tapi kurang tepat dalam konteks menjaga soliditas partai. Di sinilah Ketua DPD I Partai Golkar sepertinya kurang berperan merapikan jajarannya ke bawah. Belakangan Ketua Dewan Kehormatan DPD I Partai Golkar Sulteng yang juga menjabat Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Donggala, Rusdy Mastura juga harus angkat kaki dari partai yang selama ini turut dibelanya.
Hengkangnya Cudy, sapaan Rusdy Mastura, ke Partai Nasdem mengonfirmasikan bahwa Beringin Sulteng tidak lagi menjadi tempat yang nyaman dan sejuk bagi kader-kader terbaiknya. Padahal beberapa pilkada sudah di depan mata dan Pemilu 2019 sudah sangat dekat. Jika pengurus DPD Partai Golkar Sulteng tidak segera melakukan gebrakan-gebrakan yang berarti, bukan tidak mungkin ke depan kebesaran partai ini di Sulteng hanya akan tinggal kisah. (**)