HUBUNGAN antara Bupati Aptripel Tumimomor dengan Wakil Bupati (Wabup) Muhammad Asrar Abd Samad rupanya belum membaik. Keretakan hubungan orang pertama dan kedua di Kabupaten Morowali Utara (Morut) klimaks sekitar Februari 2018 lalu. Terjadi saat pelantikan pejabat eselon III dan IV Pemkab Morowali. Tidak berselang lama dengan peristiwa serupa, antara Bupati Tolitoli Moh Saleh Bantilan dengan wakilnya Abd Rahman H Buding.
Ketidakharmonisan antara bupati dengan wakil bupati tentu berimplikasi pada banyak hal. Tidak saja dalam relasi individu antara keduanya tapi langsung maupun tidak langsung bakal mempengaruhi proses penyelenggaraan pemerintahan. Banyak hal penting dan strategis yang perlu didiskusikan antara bupati dengan Wabup berkenaan dengan kewajiban mereka untuk menunaikan janji politik ketika berkampanye bersama.
Namun dengan memburuknya hubungan di antara mereka, maka sulit membayangkan akan adanya saling diskusi dan sinergi. Padahal menjaga kekompakan dan saling menimbang rasa sebagai pasangan yang dipilih oleh rakyat dalam satu paket jabatan merupakan prasyarat dasar untuk mewujudkan apa yang pernah dijanjikan bersama. Dengan hubungan yang buruk seperti sekarang, sangat terbuka kemungkinan untuk berlanjut pada persaingan yang tidak sehat dan saling menjegal.
Mengislahkan keduanya telah diupayakan oleh masyarakat. Salah satunya adalah inisiatif pengurus Panitia Hari-Hari Besar Islam (PHBI) yang hendak memanfaatkan momentum halal bi halal. Keduanya sudah disetting hadir bersamaan dalam momentum keagamaan itu. Acara pun dikonsep sedemikian rupa, agar keduanya duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Baik bupati maupun Wabup tidak diberikan waktu untuk menyampaikan sambutan. Usaha ini gagal karena Wabup Muhammad Asrar Abd Samad ternyata tidak hadir.
Publik tidak tahu persis apa yang terjadi di antara keduanya. Tidak tahu apa yang mereka pikirkan untuk membangun Kabupaten Morut di sisa masa jabatan. Tapi kita sangat yakin, sebagai putra daerah yang dipercaya dan diberi mandat oleh rakyat, keduanya punya komitmen dan niat yang baik. Bahwa ada ketidaksamaan cara pandang dan kemudian muncul perbedaan pendapat itu lumrah adanya. Tapi harus berhenti sampai di situ. Jangan berlanjut untuk saling menegasikan. Sebab keduanya memiliki saham yang sama untuk mencapai jabatan yang ada sekarang.
Maka yang dibutuhkan sekarang adalah kebesaran hati dan kelapangan jiwa untuk saling menerima kembali. Membicarakan keinginan masing-masing pihak secara terbuka. Menemukan kompromi atas perbedaan-perbedaan yang ada. Supaya di sisa waktu yang masih ada, jalannya pemerintahan dapat dipulihkan. Agar para birokrat di bawah dapat bekerja lebih tenang. Tidak terbelah sebagai loyalis bupati dan loyalis Wabup secara tajam.
Ini yang ditunggu dan dirindukan masyarakat. Kalau mau berkompetisi secara total tunggu periode ini berakhir. Ibarat penonton yang sudah membeli karcis, rakyat yang telanjur memilih tidak boleh dikecewakan. Apa pun masalah di antara kedua pemegang peran kunci, permainan ini harus tetap berjalan sesuai skenario awal. Itulah yang disebut profesional. Itulah sejatinya pemimpin yang menempatkan komitmen awal di atas tuntutan-tuntutan yang hadir kemudian. (**)