LEMBAGA adat di suatu daerah memiliki peran yang sangat penting dan strategis. Keberadaannya mengatasi institusi formal dan institusi sosial yang ada. Hadir sebagai pengayom bagi semua kelompok. Mereka yang ada di lembaga ini bukan orang sembarang. Tapi sosok yang menjadi panutan dan teladan di masyarakat. Agar marwah lembaga ini senantiasa terjaga maka menjaga jarak dari hal-hal yang potensial menimbulkan polemik di masyarakat adalah keniscayaan.
Pada alur pikir seperti ini, kita dapat memahami kritikan yang disampaikan anggota DPRD Kota Palu terhadap Lembaga Adat Kota Palu berkenaan dengan sikap dan reaksi lembaga tersebut terhadap gerakan tagar #2019GantiPresiden. #2019GantiPresiden adalah simbol gerakan politik. Bagian dari kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat warga negara yang dijamin konstitusi. Konstitusi adalah hukum tertinggi dalam sebuah negara.
Karena kebebasan bereskpresi dan menyampaikan pendapat merupakan hak setiap warga negara yang dijamin konstitusi maka tidak boleh ada pihak yang melarang. Itu berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tentu saja dengan pembatasan bahwa gerakan #2019GantiPresiden tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang melanggar hukum dan kepatutan.
Sepanjang disampaikan dan dilakukan dengan cara damai dan taat aturan maka setiap pihak harus menghormati aspirasi ini. Demikian pula aspirasi yang bersifat kontra. Dalam negara hukum yang demokratis, keduanya memiliki kedudukan yang sama. Silakan dikompetisikan. Pada akhirnya rakyatlah sebagai pemilik kedaulatan yang akan menentukan. Biarlah proses ini berjalan secara politik dan menjadi kontestasi kaum politisi.
Lembaga adat dalam kedudukannya sebagai pengayom untuk semua kelompok rasanya kurang tepat untuk masuk menjadi bagian dari pro kontra yang sedang mengemuka. Melibatkan diri dalam kontestasi dua kelompok masyarakat yang sedang berjuang secara politik merupakan tindakan yang kurang bijak. Sebagaimana disampaikan Ketua DPRD Palu, Ishak Cae bahwa pernyataan Lembaga Adat yang tidak menolerir gerakan ganti presiden hanya akan memancing orang lain untuk bereaksi.
Dan benar reaksi itu telah muncul sekarang. Bahkan cenderung sudah menggeser polemik awal tentang #2019GantiPresiden. Saat ini pernyataan Lembaga Adat Kota Palu yang justeru membawa polemik baru di masyarakat. Gejala ini kurang baik. Sebab kekuatan Lembaga Adat, meski sudah diformalkan keberadaannya dalam sebuah peraturan daerah, bertumpu pada legitimasi sosial.
Legitimasi itu akan tergerus bila mereka yang ada di lembaga itu mulai tergoda untuk masuk ke wilayah-wilayah yang sangat politis. Dalam konteks terjadinya pro kontra #2019GantiPresiden yang tidak bisa dihindari terjadi di Kota Palu (sebagaimana di daerah lain sebagai bagian dari NKRI), lembaga-lembaga adat harus menempatkan diri secara netral.
Peran lembaga adat adalah memastikan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam pro kontra tetap menjaga nilai-nilai toleransi dan kearifan yang bersifat universal. Dilakukan dengan cara yang berkearifan pula sehingga tidak terkesan lebih memihak pada salah satu kelompok. Pada saat yang bersamaan institusi-institusi resmi negara tentu juga akan melaksanakan peran dan fungsinya. Negara ini akan baik, hanya jika semua pihak menyadari dan melaksanakan perannya secara proporsional. (**)