KEPEMIMPINAN Walikota Hidayat dan Wakil Walikota Sigit Purnomo Said kini dalam ujian. Sebelumnya, pada momen reses yang dilakukan salah seorang anggota DPRD Kota Palu dari daerah pemilihan Palu Timur dan Mantikulore, terungkap sejumlah persoalan yang menjadi aspirasi warga.
Salah satunya soal kelanjutan program pembagian tanah yang pernah dicanangkan mantan walikota Rusdy Mastura. Termasuk pertanyaan tentang program K5 yang oleh warga dinilai tidak lebih baik dibanding program padat karya yang ada sebelumnya.
Setelah munculnya aspirasi warga ini, dari gedung DPRD Kota Palu, kini muncul pula suara-suara kritis terhadap kebijakan dan program Pemkot. Seperti disampaikan anggota DPRD Palu Bey Arifin terkait dengan pelaksanaan Festival Palu Nomoni. Menurut anggota DPRD dari Partai Hanura ini, pelaksanaan Festival Palu Nomomi perlu dievaluasi. Munculnya aspirasi untuk melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Festival Palu Nomoni sangat wajar adanya. Mengingat penyelenggaraan kegiatan ini menyerap dana APBD yang cukup besar.
Selain Festival Palu Nomoni, Bey Arifin juga mulai mempertanyakan rancangan peraturan daerah tentang kelembagaan adat. Pertanyaan ini dapat dipahami karena sejak awal ada komitmen dari Pemkot untuk membentuk perda ini demi memaksimalkan peran lembaga ada di masyarakat. Maka pada waktu menjelang dua tahun masa kepemimpinan walikota, pada tempatnya jika anggota DPRD mulai menagih janji tersebut. Kalau pun belum bisa dilaksanakan karena berbagai hambatan dan kendala, setidaknya ada penjelasan kepada publik. Jangan sampai karena terlalu banyak ide dan imajinasi di pikiran seorang pemimpin daerah sehingga programnya menjadi tidak fokus.
Di bagian lain, Komisi C DPRD Palu juga mempersoalkan anggaran yang diajukan Dinas Pekerjaan Umum Kota Palu. Salah satunya adalah pembuatan median jalan di Jalan Muhammad Yamin, Jalan Moh Hatta, dan Jalan Raden Saleh yang usulan anggarannya mencapai sekitar Rp10 miliar. Selain anggaran yang relatif besar, program-program tersebut menurut anggota DPRD Palu Hamsir bukan usulan masyarakat yang muncul pada saat pelaksanaan reses maupun Musrenbang. Termasuk pengajuan anggaran Rp3 miliar untuk pembangunan Tugu Nol di Jalan Hasanuddin juga dicoret Komisi C.
Munculnya program-program seperti di mata anggota DPRD Palu cenderung tidak memerhatikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat secara ril. Usulan masyarakat yang diperoleh anggota DPRD selama reses justeru kurang terakomodir. Gejala ini mengonfirmasikan bahwa penyampaian laporan hasil reses terkesan hanya sebagai kegiatan seremonial belaka.
Padahal program-program pemerintah seyogianya berbasis pada kebutuhan ril masyarakat yang dijaring secara partisipatif. Model perencanaan pembangunan yang bersifat top down sudah bukan zamannya lagi. Waktu yang tersisa masih cukup panjang sehingga penting bagi Walikota Hidayat untuk mendengar suara-suara yang mungkin tidak sesuai dengan jalan pikirannya sendiri tapi penting dan berfaedah bagi masyarakat. (**)