TAJUK

TAJUK | Kasus Pungli Lahirkan Dugaan Pungli Baru

Dilihat

KETERBUKAAN adalah jiwa keadilan. Taji tertajam dan penjaga terkuat dalam melawan ketidakjujuran. Keterbukaan membuat hakim diadili ketika ia mengadili. Tidak akan ada keadilan tanpa keterbukaan. Adalah Jeremny Bentham, seorang pemikir dan jurist berkebangsaan Inggris yang memomulerkan ungkapan ini. Suatu ungkapan bijak yang makin relevan dan dibutuhkan hari-hari ini. Dibutuhkan ketika pengadilan disepakati dan masih diyakini sebagai ruang bebas dan terbuka bagi siapa pun untuk mencari dan menemukan keadilan.

Publik patut mengapresiasi karena sejauh ini Pengadilan Tipikor Palu tampaknya mulai mengembangkan keterbukaan dalam makna yang luas ketika mengadili kasus-kasus korupsi. Bukan sekadar menyatakan sidang terbuka dan dibuka untuk umum sebagai syarat formil sebuah proses persidangan. Tapi mulai mengembangkan sistem keterbukaan dalam makna yang lebih substantif dengan menggali berbagai sisi atas kasus-kasus yang disuguhkan jaksa penuntut umum.

Dalam kasus dugaan korupsi penyalahgunaan dana Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kota Palu, upaya untuk membuka kasus tersebut seluas-luasnya nampak nyata dalam pemeriksaan saksi maupun terdakwa. Hal terbaru, ketika Pengadilan Tipikor Palu menjatuhkan putusan terhadap kasus korupsi yang melibatkan Marten Martinus Kereh, salah seorang pejabat di lingkungan Dinas Catatan Sipil Kota Palu. Yang bersangkutan dimajukan ke meja hijau karena terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Tim Saber Pungli.

Terungkap dalam pemeriksaan saksi dan kemudian diuraikan dalam putusan majelis hakim bahwa ada oknum anggota kepolisian dari Polda Sulteng yang meminta uang sebesar Rp5 juta kepada isteri pelaku ketika proses hukumnya dalam tahap penyidikan. Oknum polisi tersebut menjanjikan kepada isteri pelaku bahwa kasusnya tidak akan diproses lanjut setelah melakukan pembayaran.

Apa yang terungkap sebagai fakta persidangan ini sebetulnya tidak terlalu mengejutkan. Sebab kabar semacam ini bukanlah hal baru dalam dunia hukum kita. Praktik ini sudah jamak dirasakan dan dialami mereka yang pernah berurusan dengan hukum. Meskipun sudah jamak dan bukan hal baru lagi tapi pembuktiannya yang selalu sulit dilakukan. Seperti orang buang angin yang aromanya sudah menyeruak ke segala penjuru tapi pelakunya sulit ditunjuk hidungnya secara pasti.

Yang agak mencengangkan karena kasus ini terjadi dalam penanganan kasus hasil OTT yang diciduk oleh Tim Saber Pungli. Sungguh ironis dan disayangkan karena Tim Saber Pungli itu sengaja dibentuk untuk membasmi kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh aparatur negara yang bekerja di loket-loket pelayanan publik. Maka apa yang dilakukan Tim Saber Pungli yang menciduk salah seorang oknum petugas Dinas Catatan Sipil Kota Palu merupakan suatu hal baik demi membersihkan instansi pelayanan publik dari segala kecurangan yang memanfaatkan fasilitas jabatan.

Mengenai barang bukti yang hanya dua lembar uang seratus ribu, tidak masalah. Karena yang dikejar bukan seberapa jumlah uangnya tapi perbuatan pelaku yang tidak bisa ditoleransi. Mengecewakan karena terhadap kasus Rp200 ribu ketika sampai ke meja penyidikan justeru diduga dimanfaatkan oleh oknum untuk meminta uang Rp5 juta. Inilah cerminan penegakan hukum kita.

Satu kasus korupsi dapat mengundang niat korupsi baru dari oknum-oknum penegak hukum yang memprosesnya. Kita berharap agar borok-borok semacam di masa mendatang dapat diungkap secara terang benderang di ruang pengadilan. Hal ini hanya akan terjadi jika hakim-hakim kita yang mulia meresapi dengan dalam ungkapan sang filsuf, Jeremy Bentham. (**)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.