KRISIS listrik sudah di depan mata jika PLTU Panau akan berhenti beroperasi secara permanen. Kemungkinan tersebut berpeluang terjadi sekiranya pihak perusahaan dan masyarakat yang terdampak oleh keberadaan PLTU tidak kunjung menemukan kesepakatan. Upaya mediasi yang telah dilakukan oleh Pemkot yang diharapkan melahirkan suatu solusi sejauh ini tampaknya belum berhasil.
Kini muncul harapan baru agar Gubernur Sulteng segera turun tangan. Tidak membiarkan dan menempatkan persoalan ini semata-mata sebagai urusan bisnis yang murni menjadi tanggung jawab perusahaan. Sebab persoalan kelistrikan merupakan kebutuhan masyarakat yang sangat vital. Kondisi kelistrikan di suatu daerah berdampak langsung terhadap pelayanan publik dan tuntutan dunia usaha.
Permasalahan yang timbul terkait dengan keberadaan PLTU Panau sebetulnya telah terjadi dalam waktu yang cukup lama. Gejolak yang muncul saat ini yang diekspresikan oleh masyarakat dalam sejumlah aksi hanyalah akumulasi dari persoalan-persoalan awal yang tidak segera diselesaikan. Ibarat kebakaran, apinya sudah membesar dan menjalar ke mana-mana.
Ini yang tidak disadari dan kurang diantisipasi dari awal. Baik oleh perusahaan maupun Pemkot. Sebab relasi antara perusahaan dan masyarakat di sekitarnya selalu rentan dengan konflik. Kecenderungan umumnya sudah demikian. Maka harus selalu ada langkah persuasi dan tindakan preventif yang dilakukan oleh perusahaan untuk mempertahankan kondisi yang sudah baik.
Potensi-potensi konflik yang masih kecil harus segera dibereskan. Bila perusahaan terlena maka pada saat yang bersamaan masyarakat akan merasakan dirinya hanya sebagai penonton. Ketika perasaan ini muncul kemudian terakumulasi dan diskusikan dalam satu komunitas maka yang akan muncul adalah kesadaran tentang pentingnya daya tawar dan perlawanan.
Harusnya perusahaan memiliki konsultan yang bisa memberikan nasehat tentang soal-soal semacam ini. Sebab kebutuhan akan hal ini jauh lebih penting daripada sekadar menghadirikan motivator untuk mendorong kinerja dan produktivitas karyawan. Demikian juga dengan membangun kebersamaan masyarakat akan jauh lebih efektif dibanding hanya menempatkan aparat keamanan di lokasi perusahaan.
Nasi telah jadi bubur. Masyarakat telanjur protes. Pemkot yang sudah turun tangan kelihatannya juga mulai angkat tangan. Maka harapan yang paling realistis saat ini adalah kehadiran Gubernur Longki Djanggola. Dengan wibawa pribadi dan pendekatan sosiokultural yang ditempuh oleh gubernur, kita berharap pintu dialog yang sebelumnya mungkin terkunci dapat dibuka kembali. (**)