SEORANG nahkoda kapal harus tahu betul ke mana kapal yang dia pimpin akan berlayar, melalui jalur yang mana, dan kendala yang mungkin akan dihadapi di tengah perjalanan. Oleh karena itu, selain dibantu oleh navigator, seorang nahkoda juga harus memiliki pengetahuan navigasi yang andal agar kapal dapat mencapai tujuan. Seorang presiden yang merupakan pimpinan tertinggi suatu negara layaknya seorang nahkoda kapal harus tahu ke mana arah pembangunan dilakukan, melalui jalur apa, dan sigap mengantisipasi kendala yang pasti dihadapi. Bedanya, nahkoda kapal membutuhkan kompas untuk menentukan arah kapal, sedangkan presiden membutuhkan data untuk menentukan arah pembangunan.
Perencanaan pembangunan yang matang membutuhkan data yang berkualitas sebagai dasarnya. Selain data yang akurat, pemaknaan data tersebut juga harus tepat agar kebijakan yang diambil tepat sasaran. Sebagai contoh dalam mengatasi masalah kemiskinan, dibutuhkan data dan informasi mengenai seberapa banyak penduduk miskin, tersebar di mana saja penduduk miskin tersebut, seberapa parah kemiskinan yang dihadapi, dan lain-lain. Jika dilihat dari data BPS, persentase penduduk miskin perdesaan terhadap total penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2000-an sekitar 70 persen.
Pada tahun 2000, persentase penduduk miskin perdesaan sebesar 68 persen dan melonjak menjadi 77 persen pada tahun 2001. Selanjutnya persentase penduduk miskin perdesaan cenderung turun dan mencapai 62.7 persen pada tahun 2015. Dengan dasar tersebut, dirancang kebijakan untuk mengintervensi agar penduduk miskin di perdesaan berkurang, maka lahirlah program dana desa pada tahun 2015. Dengan dikucurkan dana desa diharapkan perekonomian lokal di perdesaan akan tumbuh dan berkembang sehingga penduduk miskin di perdesaan berkurang.
Contoh lain penggunaan data untuk dasar perencanaan adalah ketika pandemi covid-19 melanda dunia. FAO memperingatkan negara-negara di dunia akan bahaya krisis pangan akibat pandemi ini. Setiap negara harus secepat mungkin membuat kebijakan untuk mengatasi hal tersebut. Dibutuhkan data yang akurat untuk membuat kebijakan menghadapi ancaman krisis pangan dunia antara lain data produksi pangan, konsumsi pangan, ekspor maupun impor, data pekerja pertanian dan lain-lain.
Menganggapi hal tersebut, pemerintah Indonesia membuat program food estate atau lumbung pangan nasional. Dengan program tersebut diharapkan kebutuhan pangan nasional dapat terpenuhi oleh produksi sendiri mengingat pandemi yang terjadi membuat negara-negara pengekspor pangan membatasi atau bahkan menutup ekspor pangan dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan negara sendiri.
Selain sebagai dasar perencanaan pembangunan, data juga bisa digunakan untuk mengontrol kebijakan yang telah dijalankan. Misalnya untuk melihat efektivitas program dana desa, perlu dikaji pengaruhnya terhadap masyarakat perdesaan. Dengan melihat data kemiskinan yang dirilis BPS, persentase penduduk miskin di perdesaan terhadap total penduduk miskin di Indonesia cenderung turun, dari 62,7 persen pada tahun 2015 menjadi 57,7 persen pada tahun 2020.
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa program dana desa berpengaruh terhadap pengurangan persentase penduduk miskin di perdesaan terhadap total penduduk miskin. Untuk setiap kebijakan yang diambil dapat diukur efektivitasnya dengan data. Pemerintah dapat mengevaluasi kebijakan tersebut apakah harus dilanjutkan atau dihentikan.
Manfaat lain dari data adalah untuk melihat capaian Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Hal tersebut dapat dilakukan jika metode pengukuran data yang digunakan sesuai standar internasional. Sebagai penyedia data utama di Indonesia, BPS menggunakan metode yang sudah memenuhi kriteria PBB yaitu international standard, impartial, accountability, objectives and independent. Dengan demikian, dengan menggunakan data BPS kita dapat membandingkan capaian Indonesia dibanding negara lain. Sebagai contoh angka kemiskinan, PDB, PDB per kapita, angka pengangguran dan lain-lain. Agenda pembangunan global seperti MDG’s dan SDG’s juga menggunakan data untuk mengukur capaian suatu negara. Jika metode yang digunakan tidak standar internasional, maka kita tidak bisa membandingkan capaian suatu negara dibandingkan dengan negara lain.
Mengingat begitu krusialnya peran data dalam proses pembangunan, maka data yang berkualitas mutlak dibutuhkan. Oleh karena itu, dibutuhkan payung hukum yang mengatur mengenai sistem perstatistikan nasional. Pada tanggal 26 September 1960, diundangkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1960 tentang Sensus dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1960 tentang Statistik. Undang-undang tersebut mengatur tentang perstatistikan di Indonesia dan Biro Pusat Statistik sebagai penyelenggara kegiatan statistik di Indonesia.
Seiring dengan perkembangan zaman, undang-undang tersebut dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik. Undang-undang tersebut mengatur tentang perstatistikan di Indonesia dan Biro Pusat Statistik berubah nama menjadi Badan Pusat Statistik (BPS). Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa jenis statistik dibedakan menurut pemanfaatannya yang terdiri atas statistik dasar yang diselenggarakan sepenuhnya oleh BPS, statistik sektoral yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah secara mandiri atau bersama dengan BPS, dan statistik khusus yang diselenggarakan oleh lembaga, organisasi, perorangan, dan atau unsur masyarakat lainnya secara mandiri atau bersama dengan BPS. Dalam undang-undang itu pula dijelaskan bahwa hasil dari statistik sektoral dan statistik khusus wajib dilaporkan dan diserahkan kepada BPS.
Dalam perjalanannya, BPS berinovasi mengikuti perkembangan zaman dalam upaya menyediakan data bagi pemerintah dan masyarakat. Hal tersebut terlihat dari penggunaan teknologi di beberapa pendataannya antara lain Sensus Penduduk Online, KSA yang memanfaatkan data citra satelit, penggunaan metode Computer-Assisted Personal Interviewing (CAPI) sebagai pengganti kuesioner kertas dan lain-lain. Selain penggunaan teknologi, metodologi pengumpulan data juga selalu dieperbaharui sesuai perkembangan zaman. Sebagai contoh metode pengumpulan data luas panen diperbaharui dari yang sebelumnya menggunakan eye estimate menjadi metode Kerangka Sampel Area (KSA).
Akan tetapi kunci dari kualitas data yang dihasilkan tidak hanya terletak pada BPS. Kementrian/ Lembaga, Pemerintah Daerah, perusahaan dan masyarakat sebagai pemberi data juga memiliki peran yang sama pentingnya dalam menentukan kualitas data di Indonesia. Sekuat apapun metodologi yang dibangun BPS, tidak akan ada artinya jika jawaban yang diberikan responden tidak sesuai kondisi lapangan.
Hari Statistik Nasional diperingati setiap tanggal 26 September, diambil dari tanggal diundangkannya Undang-Undang tentang Statistik Nomor 7 Tahun 1960. Hari Statistik Nasional adalah momentum yang sangat tepat bagi BPS sebagai penyedia data maupun masyarakat sebagai pemberi data dan pengguna data merenungkan betapa pentingnya data kaitannya dengan proses pembangunan. Oleh karena kualitas data adalah tanggung jawab semua pihak, maka diperlukan kerja sama yang baik antar berbagai pihak yang terlibat.
Jika itu dapat dilakukan, maka kualitas data statistik di Indonesia akan menjadi lebih baik, dan kebijakan yang diambil yang didasarkan pada data statistik tersebut akan tepat sasaran dan sesuai kebutuhan. Hal tersebut tentu akan membawa bahtera Indonesia berlayar menuju Indonesia yang lebih maju. Statistik Berkualitas, Indonesia Maju!
*) Penulis merupakan ASN di BPS Kabupaten Poso