TAJUK

Sikap Walikota Palu Refleksikan IKP Sulteng

Dilihat

Dr. RAHMAT BAKRI, S.H., M.H. *)

Rahmat Bakri

SIKAP tidak simpatik yang ditunjukkan Walikota Palu, Hidayat dalam merespons permintaan wawancara wartawan Harian Radar Sulteng sebetulnya merefleksikan hasil penelitian IKP (Indeks Kemerdekaan Pers) tahun 2016 di Sulawesi Tengah. Hasil IKP 2016 yang dirilis Dewan Pers menempatkan Sulawesi Tengah pada posisi ke-15 dari 24 provinsi yang menjadi lokasi penelitian.

Dari tiga dimensi yang menjadi indikator untuk mengukur IKP,  Provinsi Sulawesi Tengah memperoleh hasil terendah pada dimensi hukum (60,06). Hasil tertinggi pada dimensi ekonomi (62,17) dan dimensi politik (62,12) pada posisi tengah. Sebagai salah seorang yang terlibat langsung dalam penelitian ini, awalnya saya menduga dimensi ekonomi yang akan berada di urutan terendah.

Sebab pada dimensi ekonomi inilah diukur sejauhmana kemerdekaan pers relatif bebas dari intervensi internal. Baik karena faktor modal maupun afiliasi politik. Kekhawatiran ini yang banyak disorot dan dibincangkan dalam berbagai diskusi tentang pers saat ini. Terbukti untuk IKP DKI Jakarta, dimensi ekonomi (55,10)  memang relatif payah dibanding dimensi politik dan  dimensi hukum.

Namun hasil IKP 2016 yang dilansir Dewan Pers,  memberi pelajaran bahwa di masing-masing provinsi terdapat persoalan yang khas. Ancaman yang potensial memperburuk kondisi kemerdekaan pers berbeda antara satu daerah dengan daerah lain. Contohnya, untuk Sulawesi Tengah, ancaman paling potensial masih bersumber dari dimensi hukum meskipun dimensi ekonomi dan dimensi politik juga belum menunjukkan kondisi yang ideal.

Mengapa sikap Walikota Palu terhadap wartawan merefleksikan hasil IKP Sulawesi Tengah 2016? Sebab salah satu indikator dalam dimensi hukum adalah sejauhmana aparat pemerintah daerah menjalankan kewajiban untuk menghormati dan melindungi kemerdekaan pers. Diskriminasi terhadap wartawan yang dilakukan seorang pejabat publik seperti walikota merupakan salah satu faktor yang memperburuk penilaian pada indikator ini.

Bila dirunut ke belakang, perlakuan ini juga pernah ditunjukkan oleh Wakil Walikota Palu, Sigit Purnomo Said, awal 2016 silam.  Jurnalis MNC Grup ditolak untuk melakukan wawancara. Penolakan bahkan disertai dengan sikap yang tidak sepatutnya ditunjukkan oleh pejabat publik yang terdidik. Kejadian terdahulu yang dilakukan wakil walikota dan peristiwa terkini yang dilakukan walikota, cukup mengkhawatirkan sebagai ancaman terhadap kemerdekaan pers di daerah ini.

Pers dengan segala kekurangannya dibutuhkan sebagai instrumen pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Peran ini bersifat universal dan ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pejabat publik yang “membenci” pers yang beriktikad baik sama dengan memusuhi demokrasi. Sistem yang memberi mereka kesempatan untuk duduk dalam posisinya seperti sekarang.

Seorang pejabat publik mestinya percaya diri menjawab pertanyaan wartawan yang bekerja atas mandat  publik. Jabatan publik mengharuskan pemangkunya memberi ruang kerelaan yang cukup lapang bagi pertanyaan-pertanyaan yang mungkin secara pribadi tidak atau kurang disenanginya. Prasangka tidak boleh menjadi filter untuk menyeleksi, siapa yang boleh dan tidak boleh dilayani.

Sebab bagi pejabat  publik,  menjawab pertanyaan wartawan bukan karena kebaikan hati tapi karena tuntutan akuntabilitas. Bukan pula karena pertemanan tapi kewajiban melayani hak publik atas informasi.  Semoga sikap-sikap yang kurang dewasa dari pejabat publik kita dalam memperlakukan pekerja pers tidak semakin menggejala.  Agar kualitas IKP di Sulawesi Tengah tahun ini,  bisa lebih baik dibanding tahun 2016 lalu.

(Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako dan Koordinator Peneliti Indeks Kemerdekaan Pers di Sulawesi Tengah 2016)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.