Cerita Tentang Kera Sakti dan Anggrek Macan Langka di Padang Masora

Sukses menaklukan Situs Lempe, membuat semangat tim kembali pulih. Dengan waktu tersisa kurang lebih 3 jam, tim mengunjungi 2 situs megalitik yang tersisa plus melihat Situs Cagar Budaya berupa Rumah Adat Tambi di Desa Doda, ibukota Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso. Babak ini adalah sesi terakhir dalam misi Megalit Hunt bersama Radar Sulteng dan Zetizen Radar Sulteng.
LAPORAN: Nur Soima Ulfa
JIKA sempat ke Lembah Behoa untuk berwisata sejarah di situs megalitik yang tersebar di lembah purba ini, maka sediakan waktu banyak-banyak. Ini WAJIB! Sebab sehari saja tidak cukup untuk menikmatinya. Apalagi keberadaan megalit tidak hanya sebatas objek patung tua berusia ribuan tahun. Ada banyak cerita di baliknya, baik berupa hasil penetilian para ahli Arkelog maupun mitologi yang dipercaya oleh masyarakat di sekitarnya.
Cerita-cerita inilah bagaikan garam dalam sayur, bumbu penyedap yang memperkaya wawasan juga sebagai vitamin dalam berpetualangan di Lembah Behoa. Setelah puas mendapatkan patung ibu hamil di Situs Lempe karena terdorong oleh cerita di baliknya, tim memiliki satu lagi keinginan untuk menemukan patung megalit berupa kera sakti. Patung ini katanya ada di Situs Padang Masora.
Tim yang sukses di Situs Lempe, langsung tancap gas. Tidak sabar untuk menemukan patung ini, meskipun tim juga memiliki daftar tempat dan objek apa saja yang harus dicari. Seperti rumah adat Tambi asli yang masih berdiri di Desa Doda, patung megalit Tadulako dan jika bisa, patung megalit yang baru saja ditemukan bulan September 2016 di Desa Lempe.
Sunardi Pokiro (38), juru pelihara yang ditugaskan di Situs Pokekea, mengungkapkan ada beberapa patung megalit baru ditemukan di Desa Lempe. Tanggal pastinya dia lupa, hanya ingat pada bulan September 2016 lalu dirinya bersama 23 juru pelihara lainnya se Lore Tengah, ke hutan Desa Lempe untuk melihat sekaligus memastikan laporan warga.
Dia menyebut lokasi penemuan megalit tepatnya di Dusun Halutawe, sekitar 3 kilometer dari Situs Lempe. Di tempat itu, Sunardi bersama dengan juru pelihara menemukan dua patung megalit dan banyak batu-batu megalit dengan ukiran wajah manusia, dalam kondisi masih alami. Menurut Sunardi belum ada peneliti yang datang untuk meneliti, meski laporan resmi telah dilayangkan.
“Ada dua patung dan dua-duanya ada retak dengan posisi rebah ke tanah. Satu batu kira-kita tinggi badannya 1 meter muncul ke tanah. Sedangkan setengahnya lagi, mulai pipi dan hidungnya, masih tertanam,” ungkap Suardi sembari memperlihatkan foto-foto megalit yang dimaksudkannya, di dalam smartphone miliknya.
Penemuan megalit baru di Desa Lempe, jelas Sunardi, makin menambah koleksi megalit unik di situs megalitik tersebut. Dia pun berharap situs megalitik di Desa Lempe akan sepopuler Situs Pokekea. Sebab di Desa Lempe juga memiliki patung megalitik berupa wajah burung hantu.
Sunardi mengungkapkan patung megalit di Lembah Behoa, tidak hanya berupa patung manusia. Tapi juga berupa binatang atau hewan yang dianggap sakral atau berperan dalam kehidupan masyarakat tempo dulu. Salah satu cerita menarik soal patung hewan ini adalah patung berupa kera atau monyet.
Dia menceritakan kera kerap muncul di megalit, baik berupa ornament pada tutup kalamba (sarkofagus) ataupun berupa patung sendiri. Uniknya, gambar kera yang muncul adalah monyet lokal Sulawesi yang berekor pendek. Bukan jenis kera lainnya.
“Karena mereka di sini percaya monyet punya kekuatan tersendiri buat mereka, sehingga percaya dan ambil monyet sebagai simbol di sini,” terang Sunardi.
Patung megalit berupa monyet atau kera yang dianggap sakti ini, menurutnya, dapat ditemukan di Situs Padang Masora yang terletak di Desa Bariri. Mendengar cerita kera sakti itu, tim lantas memutuskan memasukkannya dalam listing atau daftar megalit yang wajib ditemukan.
Sebelum ke Situs Padang Masora, tim memutuskan untuk pergi ke Desa Doda terlebih dahulu. Ini adalah strategi untuk memanfaatkan waktu yang semakin menipis. Kurang dari 3 jam matahari akan terbenam.
Di Desa Doda, tim ingin melihat secara langsung rumah Adat Tambi yang asli. Sayang, rumah Tambi yang kini menjadi situs Cagar Budaya itu, tidak bisa dilihat lebih dekat karena pagar besi yang mengililingi kompleks, terkunci.
Tidak membuang waktu lama, tim bergerak ke Desa Bariri yang merupakan pintu masuk-keluar Lembah Behoa. Di desa ini memliki dua situs megalitik Salah satunya, tersohor yakni Situs Tadulako. Sesuai namanya, di situs ini terdapat patung Tadulako. Sebuah patung megalit yang memakai siga di kepalanya. Patung ini merepsentasikan seorang pemimpin perang yang disebut dengan Tadulako.
Tidak sulit menemukan patung ini. Jalan masuk ke Situs Tadulako berada di pinggir jalan poros masuk Lembah Behoa. Pintu masuknya nyaris berhadapan dengan Situs Padang Masora.
Sama seperti situ megalitik lainnya di Lembah Behoa, Situs Tadulako berada di ketinggian. Untuk mencapainya, tim harus berjalan kaki sejauh 150-200 meter dari replika Rumah Tambi yang dibangun di jalan masuk situs. Berbeda dengan Situs Lempe, di situs ini memiliki papan petunjuk dan papan nama sehingga mudah ditemukan.
Di Situs Tadulako, bisa dilihat satu patung Tadulako bersama dengan satu batu meja Dakon dan satu kalamba dengan posisi jatuh ke tanah. Posisi patung terpisah sejauh kira-kira 30-50 meter dari keberadaan meja dakon dan kalamba. Situs Tadulako ini sejatinya dapat dilihat dari jalan poros masuk Lembah Behoa. Tengoklah ke arah Selatan dan anda dapat melihat dua replika bangunan Tambi, yang ada di Situs Tadulako.
Waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 WITA, sementara tim belum juga merampungkan misi Megalit Hunt. Masih ada Situs Padang Masora yang tersisa. Olehnya, tim kembali kejar-kejaran waktu demi menemukan patung kera sakti di Padang Masora. Beruntung, jalan masuk ke situs ini sangat dekat dari jalan keluar Situs Tadulako.
Jalan masuk situs yang terletak dipinggir jalan poros, membuat tim memutuskan memarkir kendaraan di pinggir jalan. Keputusan yang kemudian disesali oleh tim, sebab jalan menuju situs Padang Masora ternyata sejauh 1,5 kilometer. Jarak yang sangat berbeda dari informasi jarak ±200 meter yang terpampang di papan petunjuk yang ada di mulut jalan masuk.
Menuju situs Padang Masora dengan berjalan kaki, tidak lantas membuat semangat turun. Pasalnya, ini adalah misi terakhir dan harus berhasil. Agar tidak tersesat, tim menelusuri jalan tanah yang dari bentuknya sering dilalui oleh kendaraan roda dua. Di sepanjang jalan tanah ini tumbuh pohon guava alias jambu biji.
Setelah cukup lelah berjalan, tim menemukan papan penanda Situs Padang Masora. Artinya, megalit berupa patung kera sakti tidak jauh lagi. Dan betul saja, patung berupa batu bulat selebar rentangan tangan orang dewasa itu terlihat. Mukanya menghadap ke dataran rendah di bawah yakni Lembah Behoa.
Jika diamati, wajah patung ini memang mirip monyet. Tidak ada tangan kaki alau alat kelamin seperti halnya patung megalit berupa manusia. Hanya dari rautnya, patung ini adalah monyet yang happy. Sekitar satu meter di depannya, ada juga batu megalit yang kira-kira ukurannya dua kali lipat. Awalnya tim mengira ini adalah batu megalit biasa tanpa wujud, tetapi ketika diperhatikan baik-baik, batu ini berwujud muka monyet namun ukirannya lebih pudar.
Sekadar tips, jika menemukan dua patung monyet ini, janganlah berpuas diri. Sebab rupanya Situs Padang Masora bukan soal kera sakti semata. Tapi juga menyimpan kekayaan flora endemik Sulteng. Hanya sekitar 75 meter berjalan turun ke arah Barat (ikuti jalan setapak), bila beruntung akan menemukan anggrek macan yang langka dan sangat dilindungi.
Anggrek bermotif tutul coklat dengan dasar warna jingga ini ditemukan oleh Fikri Muh. Nur, siswa SMA Al Azhar Mandiri Palu bersama Ahmad Guntur Nanrang Jr, siswa SMAN 1 Palu yang merupakan anggota tim Zetizen Radar Sulteng. Menurut mereka, anggrek ini ditemukan di area dekat kalamba.
“Ada dua. Yang satu tumbuh dekat tanah dan satu lagi di batang pohon, tapi cukup pendek kok,” ujar Fikri Muh. Nur, kegirangan. Karena sadar anggrek ditemukan adalah bukan milik mereka, anggrek macan hanya diabadikan lewat smartphone.
Penemuan patung kera sakti dan anggrek macan di Situs Padang Masora, menjadi penutup dalam misi Megalit Hunt. Ada banyak catatan perjalanan yang bisa digunakan untuk menjelajahi Lembah Behoa. Di antaranya adalah jangan segan melaporkan kedatangan agar didampingi oleh juru pelihara dan tidak ada karcis masuk yang harus dibayar jika mengunjungi situs-situs megalitik yang ada.
Ada satu lagi, yakni hindari jalan malam jika ingin masuk atau keluar dari Lembah Behoa. Terlebih di musim penghujan seperti ini. Pasalnya, jalan poros yang membelah gunung dan menghubungkan Desa Torire di Lembah Napu dan Desa Bariri di Lembah Behoa, didominasi lubang, jalan tanah licin dan di beberapa titik aspal jalan amblas.
Menurut Kades Bariri, Magdalena Mentara, beberapa waktu yang lalu,warganya harus gotong-royong memperbaiki jalan yang amblas karena longsor. Sebab jika dibiarkan moda transportasi terhambat dan berdampak pada harga barang kebutuhan pokok masyarakat di Lembah Behoa. “Pernah satu botol bensin sampai Rp20 ribu harganya,” ungkap Magdalena.(**)
Saya ingin kelemba besoa didesa lempe, doda, bariri.. untuk menelusuri keluarga margaTate Toingke (umana barasia) dan mpenu Kila ( inana Barasia)….sy mohon bantuanya….