Ketua Shrimp Club Indonesia (SCI) Sulawesi Selatan, yang juga Ketua Komisi Penyuluhan (KPP) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), Dr. H. Hasanuddin Atjo mengungkapkan kepada Radar Sulteng, bahwa udang termasuk salah satu jenis makanan seafood yang digemari masyarakat dunia.
“ Permintaannya terus meningkat dan diperkirakan mendekati 6 juta ton di tahun 2019. Sementara itu suplynya diprediksi masih kurang sekitar 30 persen. Ini menjadi peluang mendorong bisnis seafood, “ ucapnya.
Dikatakannya, pandemik Covid-19 yang melanda dunia kurang lebih dua tahun, telah menyebabkan porak porandanya hampir semua jenis bisnis, kecuali yang masih berkait dengan bisnis penyediaan pangan dan energi yang tidak signifikan terpengaruh.
“Rekomendasi medis saat pandemi berlangsung, dianjurkan semuanya mengkonsumsi makanan bergizi dengan takaran lebih dari biasanya agar immun atau sistem kekebalan tubuh meningkat. Dan ini menjadi salah satu sebab mengapa bisnis pangan masih bisa bertahan, “ paparnya.
Harapannya, dari rekomendasi medis itu, agar tidak tertular atau bisa sembuh oleh infeksi Corona Virus 19 yang terbukti telah mematikan puluhan juta penduduk dunia, termasuk negeri tercinta Indonesia tanpa memilih status atau profesi korban, termasuk dokter dan para medis.
Berdasarkan sejumlah informasi yang diperoleh di Boston Seafood Expo yang dilaksanakan 12-15 Maret 2022 lalu bahwa permintaan udang dunia di tahun mendatang diprediksi akan meningkat tajam. Selain itu nilai jual juga akan lebih baik dengan membaiknya ekonomi dunia, karena Covid-19 diprediksi akan berubah status dari pandemi menjadi endemi
Dia menuturkan, sejumlah negara di Asia, Amerika dan beberapa negara lainnya terus berupaya meningkatkan produksi udang melalui kegiatan budidaya dengan berbagai teknologi, mulai sederhana, semi intensif, intensif, dan supra intensif.
“ Indonesia besama China, Thailand Vietnam, India, dan Equador, kini tercatat sebagai produsen utama udang hasil budidaya. Produksi udang Indonesia di tahun 2020 diperkirakan sekitar 800 ribu ton, dan 300 ribu ton diantaranya yang di ekspor, dan terutama ke pasar Amerika. Sempat menjadi pemasok terbesar, di tahun 2020, namun kini digeser oleh India dan Equador, “ bebernya.
Menurutnya, pemerintah melalui Kementrian Kelautan Perikanan, menetapkan kebijakan peningkatan produksi udang sebesar 250 persen dari 800 ribu ton di 2020 menjadi 2 juta ton di akhir tahun 2024. Dan kebijakan ini tentunya perlu diberi dukungan.
Hasil evaluasi tahun 2021 produksi udang Indonesia kurang dari 1 juta ton, cenderung stagnan. Kondisi ini merupakan tantangan yang harus diantisipasi dan dicarikan solusi, karena India dan Equador sebagai pendatang baru dalam percaturan bisnis udang, kini telah menggeser posisi Indonesia, Vietnam maupun Thailand dalam hal produksi dan pasar.
Diceritakan Hasanuddin, di minggu malam, 17 April 2022 bertempat di salah satu restoran Seafood kota Makassar, Shrimp Club Indonesia Sulawesi Selatan mendapat kesempatan berdialog dengan Mr. Robin Antony Pearl dan
Barry Amru Emirza API, terkait bagaimana upaya bisa keluar dari masalah penyakit yang melanda hampir seluruh pertambakan di dunia.
Mr. Robin adalah salah satu pionir Breeding udang jenis Letapeneaus vanamae bermarkas di Florida, Amerika Serikat bagian Tenggara dan memulai bisnis induk udang sejak 6-7 tahun lalu, yang kini sudah mengekspor induknya ke berbagai negara seperti China, India, Equador, dan Indonesia pada dua tahun terakhir.
Robin dalam karirnya berangkat dari seorang petambak di Florida, juga mengalami kendala serangan penyakit seperti di negara lainnya. Awalnya, faktor lingkungan diduga menjadi biang kerok dari masalah itu. Setelah melaksanakan semua rekomendasi konsultan yang terkait perbaikan lingkungan, hasilnya tetap ada yang terserang penyakit.
Setelah berkunjung ke beberapa negara yang mengalami hal sama, kesimpulan Robin bahwa masalah utama ada di udangnya. Dari sini dibangunlah satu hipotesis bahwa “bagaima membuat induk udang yang anaknya mampu beradaptasi dengan lingkungan dan penyakit”.
Bisnis Robin berkembang dan sudah terintegrasi mulai breeding center, hatchery, tambak udang, industri prodessing dan ekspor. Dan pengakuan bersangkutan bahwa tidak pernah berpikir salah satu bisnisnya adalah breeding vaname yang menbuat namanya jadi populer dan terkenal.
Pengorbanan Mr. Robin patut diberi apresiasi, karena mau berbagi dan menerima masukan bagi kemajuan industri perudangan dunia. Beliau sempat berkata bahwa upaya dia masuk ke bisnis genetik belum apa-apa dibandingkan dengan genetik ayam, sapi dan lainnya yang telah bisa memproyeksi peningkatan produksi secara terukur.
Dikatakannya lebih lanjut, bahwa tanpa perbaikan genetik dan variasinya, maka dapat dipastikan akan sulit meningkatkan produksi secara kontinyu dan berkelanjutan. Inilah yang menjadi salah satu kunci bila Indonesia ingin menjadi terbesar.
Secara umum diketahui ada dua galur yang menjadi nenek moyang vaname di dunia, yaitu galur Oceanic Institute (OI) Kona Hawai dan galur Equador. Kedua galur ini yang mendominasi breeding center di Amerika Serikat, yaitu Hawai dan Florida dengan galur Equadornya.
Galur OI Kona, telah mendominasi breeding center di dunia, karena dimulai dari lebih 15 tahun yang lalu. Sedangkan galur Equador baru dimulai beberapa tahun lalu. Dan kini di Indonesia ada dua galur yang beredar yaitu Kona Hawai dan galur Equador yang dikenal dengan American Penaeid (API).
Kedua galur ini berdasarkan hasil pengamatan maupun informasi sejumlah pelaku usaha tambak memiliki kelebihan dan kelemahan. Kona unggul dalam jumlah telur (fekunditas), memiliki pertumbuhan yang lebih cepat, namun kurang dalam angka kehidupan (survival). Selanjutnya API, unggul dalam hal survival, pertumbuhan moderat dan jumlah telur lebih sedikit.
Para breder, galur Kona dan galur Equador pada saat ini mendalami riset untuk memperbaiki masing-masing kelemahan untuk hal yang sama bagaimana ketersediaan udang sebagai bahan pangan dunia sebagaimana bahan pangan lainnya.
Berdasarkan hasil dialog maupun ulasan singkat diatas, bisa dipetik beberapa catatan bagi kemajuan industri perudangan di Indonesia yang sesungguhnya bisa menjadi terbesar karena memiliki sumber daya alam yang unggul.
Pertama, setidaknya ada tiga pendekatan yang perlu digaris bawahi dan ditindaklanjuti bahwa budidaya udang harus berbasis genetik, lingkungan dan integrasi mekanisasi digital. Desain atau peta jalan yang telah dibuat oleh Pemerintah perlu di re-desain.
Kedua, perbaikan genetik terutama variasinya seyogiannya menjadi program super prioritas dari upaya pemerintah meningkatkan produksi udang sebesar 250 persen yakni dari 800 ribu ton pada tahun 2019 menjadi 2 juta ton. Penguasaan teknologi budidaya cacing sebagai pakan induk yang bebas penyakit juga menjadi bagian yang tidak kalah pentingnya.
Diharapkan, tersedia benih udang dengan tiga keunggulan spesifik di hatchery yaitu pertumbuhan cepat untuk wilayah yang lingkungannya masih baik (green area), unggul survival untuk wilayah lingkungan kurang baik (red area), dan balance pertumbuhan-survival bagi wilayah cukup baik (yellow area).
“Terakhir, mendorong, memfasilitasi sektor swasta untuk membangun kerjasama dengan pihak luar yang lebih sukses mengembangkan breeding center sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa negara seperti India, Vietnam, dan Thailand, “ paparnya.
Beberapa catatan kecil ini, kata Hasanuddin Atjo, kiranya dapat dilengkapi bagi penguatan program nasional udang Indonesia yang menargetkan peningkatan produksi sebesar 250 persen yaitu 2 juta ton di akhir tahun 2024. Dan sejumlah pihak optimis target itu bisa tercapai bilamana masalah genetik dan ketersediaan pakan induk berupa cacing hasil budidaya dapat diselesaikan.