KESEHATAN

PLTU Panau, Ibarat Buah Simalakama

Dilihat
menara cerobong PLTU Panau

PALU –  PLTU, sebuah dilema. Ibarat Buah Simalakama, ada dua pilihan yang tampaknya sulit untuk dijadikan pilihan. Jika tetap dibiarkan beroperasi, maka ancaman kerusakan lingkungan tinggal menunggu waktu.

Tapi di sisi lain, jika PLTU ditutup, maka hampir dapat dipastikan, wilayah Kota Palu dan wilayah lainnya yang energinya dipasok dari PLTU, akan mengalami kegelapan total atau juga dikenal dengan istilah Blackout.

Manager PLN Area Palu Abbas Saleh, mengatakan bahwa saat ini, daya yang suplai PLTU Mpanau rata-rata berkisar antara 48-58 MW. Sementara daya mampu yang dihasilkan mencapai 66 MW dari 4 unit pembangkit yang berkapasitas 2 x 15 MW dan 2 x 18 MW.

Jika ditutup, maka dampaknya Palu akan kehilangan daya hingga 58 MW atau setara dengan daya mampu maksimal yang selama ini disuplai PLTU, yang sama dengan tiga per empat daya mampu kebutuhan yang ada. “Bisa padam kita di sini,” tuturnya kepada Radar Sulteng yang ditemui di kantornya Jumat (15/12).

Diakuinya, bahwa kehadiran Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mpanau, yang terletak di Kelurahan Mpanau, Kecamatan Tawaeli, Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng) memberikan dua dampak. Di satu sisi PLTU tersebut menjadi salah satu penopang listrik tidak hanya di Kota Palu dan sekitarnya, tapi hingga ke wilayah Sulawesi Selatan (Sulsel). Pasalnya, saat ini sistem yang ada di Sulteng terinterkoneksi sistem Sulsel. Di sisi lain PLTU Mpanau juga berfungsi sebagai penguat tegangan yang melayani wilayah Donggala Utara. Jika benar ditutup, dan hanya mengandalkan suplai dari PLTA, maka berdampak pada pelanggan yang berada di wilayah tersebut dengan berkurangnya tegangan.

Sorotan terhadap dampak lingkungan muncul dua opsi, ditutup atau dipindahkan. Namun menurutnya, kedua opsi tersebut bukan solusi yang bijak.

Mantan Manager PLN Area Watampone ini menyarankan, sebaiknya pihak pengelola PLTU Mpanau membenahi pengelolaan limbah. Sehingga dampak negatif dari pembangkit listrik tersebut dapat diminimalisir.

“Menurut saya solusinya bukan ditutup. Menurut saya itu langkah keliru kalau kemudian (PLTU) ditutup. Itu menurut saya terlepas dari unsur-unsur yang lain, saya benar-benar berbicara masalah sistem kelistrikan saja. Kalau begitu ya tentu harus ada solusi yang harus diambil pihak di sana, karena itu adalah institusi swasta ya tentu manajemennya harus ngomong bahwa dalam memenuhi standar itu tadi, dampak lingkungan, yang harus dibuat seperti ini, dan mereka (pengelola PLTU) harus cari solusi,” sarannya.

Lalu bagaimana kalau PLTU dipindah ke lokasi lain, menurut pria yang akrab disapa Abbas ini, hal itu sulit diwujudkan. Dijelaskannya, dalam setiap pembangunan ada dampak positif dan negatif terhadap lingkungan. Itu sudah menjadi risiko.

“Tinggal ditimbang mana yang lebih berat mudaratnya atau manfaatnya, kalau dampak negatifnya itu kecil ya sudahlah, itu risiko pembangunan,” ujarnya.

Solusinya kata dia, tinggal bagaimana pengelolaan dapat dilakukan secara baik. “Masalah yang ada tinggal kita bermusyawarah, asal, menurut saya ya, kita ini benar-benar ikhlas menyelesaikan masalah yang ada,”  terangnya.

Lalu bagaimana dengan PT Pusaka Jaya Palu Power (PJPP) selaku pengelola PLTU Mpanau. Komisaris PT PJPP Suardin Suebo yang dihubungi melalui kontak udara mengungkapkan jika pihaknya telah melakukan upaya dalam mengelola limbah dari PLTU tersebut. Suardin yang dihubungi sedang berada di Jakarta Jumat (15/12) mengungkapkan, saat ini tengah dipersiapkan untuk pembuangan sementara di luar TPA. Di mana pengerjaan diperkirakan akan segera rampung. Yang mana pembuangan sementara itu sebelum dilakukan pembuangan akhir. “Di jalan mo ke Parigi,” sebut Suardin menjelaskan lokasi pembuangan sementara tersebut.

Menurutnya, jika pembuangan sementara itu telah beroperasi dapat meminimalisir masalah yang ada. pengoperasian pembuangan sementara tersebut ditarget selesai Desember ini. “Kalau tidak ada hambatan bulan ini,” ungkapnya.

Disinggung soal penutupan PLTU, menurut Suardin, aturan dalam menutup itu ada. Boleh saja masyarakat menuntut, tapi aturannya harus memenuhi syarat. “Kecuali kita tidak ada upaya ya pemerintah akan menutup,” tuturnya.

Lalu bagaimana kalau PLTU itu dipindahkan, kata mantan wali kota Palu ini, hal itu tidak mungkin. Sebab PLTU sudah permanen. “Kalau bongkar pasang ya bisa,” paparnya.

Dijelaskannya, solusinya adalah apa yang menjadi keberatan masyarakat itu yang harus dipenuhi.

“Bagaimana pengelolaan abunya, bagaimana limbahnya itu, setelah itu baru kita lihat sama-sama sudah maksimal atau belum. Kalau belum ada lagi perbaikan-perbaikan. Saya kira langkah-langkahnya begitu,” urainya.(fdl)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.