OPINIPERISTIWASULTENG

Pendekatan Baru Budi Daya Udang

Dr. H. Hasanuddin Atjo (FOTO : ISTIMEWA)
Dilihat

PALU-Dalam sebuah kesempatan, Tenaga Ahli Kementerian Maritim dan Investasi (Marinves) Dr. Hasanuddin Atjo, menganalisis, memiliki garis pantai nomor dua di dunia, sekitar 100.000 km, beriklim tropis yang memungkinkan usaha bididaya bisa dilakukan sepanjang tahun, dan memiliki potensi tambak, seluas 1,5 juta hektare tidak serta merta menjamin Indonesia bisa menjadi produsen udang terbesar dunia.

Sebaliknya, kata Hasanuddin, Equador dengan garis pantai terbatas, 2.700 km, pada tahun 2021 produksinya mencapai 1,2 juta ton, tertinggi di dunia. Disusul India, 800 ribu ton dengan garis pantainya sekitar 8.700 km. Kedua negara ini boleh dikatakan sebagai pendatang baru didalam usaha budidaya udang.

Dibentangkan Hasanuddin, Thailand maupun Vietnam dengan garis pantai kurang lebih 3200 km, di tahun 2021 produksi udangnya relatif sama Indonesia yaitu pada angka 500 – 600 ribu ton. Ketiga negara ini sejak lama dikenal jago dalam budidaya udang, khususnya jenis windu atau black tiger pada zamannya. Dan kini telah tertinggal.

“Memasuki dekade tahun 2000 an budidaya black tiger mulai digeser oleh jenis udang putih asal Amerika Latin, yaitu Letapeneus vanamae. Karena black tiger rentan terhadap penyakit, berproduktifitas rendah karena karakternya tinggal di dasar tambak dan memiliki sifat kanibal yang tinggi, “ ungkapnya.

Berbeda halnya dengan vaname, cenderung lebih resisten terhadap serangan penyakit karena sukses dalam proses domestifikasi atau pemuliaan dan cenderung hidup di kolon air, “lebih sosial” ditandai sifat kanibal yang rendah dan menjadi sebab produktifitasnya berkali lipat dari jenis black tiger. Ini menjadi alasan mengapa black tiger ditinggalkan.

Dari sisi pasar, bisnis udang makin menggairahkan karena kebutuhan udang dunia terus meningkat dan saat ini diperkirakan mencapai 6 juta ton, dan baru dipenuhi kurang lebih 4,5 juta ton, yang didominasi hampir 80 persen jenis vaname. Di masa pandemik Covid-19 permintaan terhadap komoditi ini tetap tinggi.

Selain udang, permintaan jenis ikan lainnya juga semakin meningkat, termasuk pemenuhan kebutuhan jamaah haji di Arab Saudi yang semakin tinggi dari tahun ke tahun, seiring meningkatnya kuota dan minat berhaji, baik yang sifatnya wajib maupun sunnah (umroh).

Peluang ini juga dilirik Mesir yang notabenenya hanya memiliki gurun pasir di wilayah pesisir. Secara mengejutkan, dan menjadi sensasi ketika 2017 mendeklarasikan akan membangun tambak ikan maupun udang terbesar di Afrika dengan memanfaatkan sebagian tambak garamnya dan wilyah pesisir yang merupakan gurun pasir.

Proyek ini dimulakan tahun 2017, merupakan afiliasi antara Badan Perikanan Nasional Mesir, militer Mesir dan Badan Pengelola terusan Zues. Dibangun di aras gurun pasir seluas 20 ribu hectare. Dengan jumlah tambak sekitar 5.000 an unit. Mampu memproduksi ikan maupun udang sebesar 150 ribu ton setiap tahun, dan menyerap tenaga kerja sekitar 10.000 orang.

Elaborasi dengan beberapa negara menjadi kekuatan mega proyek ini. Dimulai dari teknologi konstruksi yang menahan air agar tidak bocor, mengintegrasikan air laut-sungai di dalam satu sistem budidaya, usaha hatchery untuk penyediaan benih, pabrik pakan hingga ke prosessing berorientasi nilai tambah.

Penyelenggaraan Boston Seafood Expo, 12 – 15 Maret 2022 terungkap banyak informasi yang menarik dari bisnis ini. Pertama, bahwa milenial yang akan menjadi konsumen terbesar senang dengan penyajian makanan praktis, cepat dan bergizi.

Cukup mengeluarkan udang kupas beku (permintaan terbesar), udang sudah dapat menjadi lauk dengan direbus arau digoreng. Selain itu juga tersedia udang cooked beku dan ini lebih praktis lagi, tinggal dipanasi di microwave 3 – 5 menit maka lauk sudah siap.

Kedua, berdasarkan literatur ada delapan manfaat jika mengonsunsi udang. Antara lain bisa menaikkan vitaliti karena mengandung cukup zink dan selenium. Memperbaiki kulit dan rambut karena mengandung beta caritine. Dan yang tidak kalah pentingnya sebagai anti oksidant.

Tiga pendekatan yang dilakukan Equador meningkatkan produksi udangnya. Yaitu melalu perbaikan genetik, lingkungan dan penerapan mekanisasi. Skenario ini akhirnya dalam waktu singkat menobatkan Equador sebagai produsen udang terbesar dunia menggeser India, Vietnam, Indonesia dan Thailand.

Equador menghabiskan waktu dan dana selama empat tahun untuk riset memperbaiki genetik induk udang. Elaborasi lembaga penelitian dan perguruan tinggi bersama dunia usaha-dunia industri terjalin sangat baik, didukung regulasi pemerintah yang kuat.

Kini negara ini setidaknya memiliki tiga line (strain) induk udang bebas penyakit dengan karakter, (1) fast growt, high survival. (2) fast growt, toleran terhadap kualitas air yang ekstrim seperti low salinity. (3) fast growt, toleran akan penyakit tertentu yang disebabkan bakteri atau virus yang mematikan.

Kondisi seperti ini memberi pilihan kepada pembudidaya menentukan strain benih yang akan digunakan, agar bisa berkesesuaian dengan kondisi tambak masing masing. Semakin banyak pilihan, memberi peluang yang semakin besar bagi keberhasilan pembudidaya dan bermuara kepada keberhasilan negara.

Di Indonesia variasi genetik induk udang untuk menghasilkan benih yang sesuai kebutuhan lingkungan masih sangat terbatas, sehingga jaminan keberhasilan dalam proses budidaya semakin berkurang. Ini menjadi salah satu kelemahan dan harus sesegera mungkin mampu dieleminir, agar obsesi menaikkan produksi 250 persen bisa tercapai.

Kedua, derajat elevasi dari tambak terhadap permukaan air laut relatif tinggi dan menjadi salah satu kunci pemutusan siklus penyakit karena bisa kering secara sempurna meski tambak konstruksi tanah. Selain itu tanah dapat diolah menggunakan mekanisasi, yang tujuannya di saat proses budidaya nantinya, kualitas air tambak terkendali dan terjaga.

Dikatakan Hasanuddin, di Indonesia secara umum derajat elevasi terhadap permukaan air laut rendah, bahkan tidak sedikit elevasi dasar tambak telah berada dibawah permukaan laut, sehingga proses pengeringan sulit diakukan dan upaya pengolahan tanah tidak bisa dilakukan. Ini akan berdampak terhadap upaya pemutusan siklus penyakit.

Diperlukan sebuah sistem drainase bagi kawasan pertambakan yang elevasinya selevel apalagi dibawah permukaan air laut agar bisa kering sempurna. Bagi kawasan levelnya lebih tinggi, maka pompanisasi diiperlukan untuk pengisian saja. Namun yang selevel atau dibawah seperti kebanyakan di Indonesia maka pompanisasi dibutuhkan baik pengisian maupun pengeringan.

Ketiga, karena tuntutan dasar telah dipenuhi yaitu perbaikan genetik maupun lingkungan, maka Equador dengan mudah merencanakan dan mengimplementasikan mekanisasi yang diintegrasikan dengan digital. Telah dimulakan penggunaan auto feeder digital, untuk menggantikan tenaga manusia dalam pemberian pakan.

Masih akan menyusul lagi sejumlah mekanisasi-digital didalam industri budidaya udang di Equador yang akan mendorong daya saingnya untuk masuk pada era daya saing global yang bergerak begitu cepat, dinamis kadangkala tidak terlihat seperti gerakan perbaikan genetik.

Menurutnya, sebaiknya Indonesia lebih fokus menyelesaikan persoalan genetik dan lingkungan lebih dahulu, agar supporting yang lain seperti upaya digitalisasi, energi terbarukan akan masuk dengan sendirinya. Tidak lagi terperangkap, terjebak pada hal-hal yang birokratis yang masih menjadi ciri dan kebiasaan.

Mendorong maupun memfasilitasi sektor swasta untuk berinvestasi terhadap usaha perbaikan genetik di Indonesia harus menjadi salah satu prioritas. Bila diperlukan, diberikan insentif bagi investasi swasta yang akan masuk pada usaha perbaikan genetik dengan pola elaborasi.

Perlu didorong pemanfaatan areal atau kawasan pertambakan yang levelnya dibawah permukaan laut seperti di Pasena Lampung dan beberapa wilayah lainnya agar bisa produktif, tidak menjadi lahan mengganggur. Teknologi drainase untuk pengeringan sudah tersedia dan banyak pilihan.

“ Tidak ada yang tidak mungkin, semua bisa dilakukan. Elaborasi dalam hal mengembangkan inovasi teknologi adalah kunci dari kesemuanya dan membuat Equador maupun Mesir mampu menjadi terdepan, “ ungkapnya.

Pertanyaanya, kata dia, mampukah negeri ini membangun elaborasi inovasi dan teknologi. Bisakah membangun ekosistem bisnis yang pada saat ini telah menjadi trend. Mungkin perlu didiskusikan kedepan.(mch)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.