
PALU – Mulai awal tahun 2017, secara bertahap pemerintah mencabut subsidi listrik untuk rumah tangga golongan 900 VA. Kebijakan ini menyebabkan bertambahnya pengeluaran rumah tangga untuk membayar tagihan listrik setiap bulannya, sejak Januari hingga April 2017. Dan hal ini memberi kontribusi signifikan terhadap laju inflasi setiap bulannya.
BPS merilis, pada bulan April 2017, Kota Palu mengalami inflasi sebesar 0,46 persen. Kontribusi dari kenaikan pengeluaran rumah tangga akibat dicabutnya subsidi listrik terhadap inflasi Kota Palu bulan April 2017 sebesar 0,46 persen tersebut lebih dari setengahnya. Tarif listrik berada di urutan pertama, memberi kontribusi sebesar 0,30 persen. Menyusul ikan cakalang dengan kontribusi sebesar 0,11 persen, dan seng di urutan ketiga dengan kontribusi sebesar 0,8 persen.
Sementara, cabai rawit tercatat sebagai komoditi yang memberi kontribusi minus paling tinggi terhadap inflasi Kota Palu pada April 2017, yakni sebesar -0,12 persen. Menyusul ikan selar sebesar -0,06 persen, telur ayam -0,05 persen, cabai merah dan bawang merah dengan kontribusi -0,03 persen.
“Dampak dari kebijakan pencabutan subsidi listrik terhadap inflasi terjadi secara nasional, sejak Januari. Sampai bulan April 2017, laju inflasi Kota Palu sudah cukup tinggi, 2,34 persen. Angka ini sudah melebihi angka inflasi Kota Palu tahun 2016 lalu,” ujar Kepala BPS Sulteng, Faizal Anwar, pada konferensi pers di kantornya kemarin (2/5).
Meski demikian, kata dia, laju inflasi Kota Palu bulan April bisa dibilang masih terkendali. Sebab, harga beberapa jenis bahan kebutuhan pokok yang sebelumnya memberi kontribusi signifikan terhadap inflasi, saat ini mulai terkendali. Yakni seperti cabai rawit, beras dan beberapa jenis bahan kebutuhan pokok lainnya.
“Kalau seandainya harga bahan pokok seperti cabai rawit, beras dan beberapa jenis bahan pokok lainnya sampai bulan April belum bisa dikendalikan, angka inflasi Kota Palu bulan April bisa di atas 1 persen. Dan laju inflasi Januari-April sudah di angka lebih dari 3 persen,” jelasnya.
Mulai terkendalinya harga berbagai jenis bahan pokok, merupakan keberhasilan pengendalian harga yang dilakukan Pemda bersama dengan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID). Bila kondisi stabilnya harga ini bisa dipertahankan hingga memasuki Bulan Ramadan dan Lebaran Idul Fitri mendatang dipastikan angka inflasi mendatang ‘masih terkendali’.
“Pengalaman kita selama ini, setiap bulan puasa angka inflasi kita selalu di atas angka 1 persen. Akan lebih bagus bila pada bulan puasa tahun ini, angka inflasi kita tetap di bawah 1 persen,” sebutnya.
Lebih jauh, Moh Wahyu Yulianto, Kabid Statistik Distribusi BPS Sulteng menjelaskan, bila dilihat per kelompok pengeluaran, inflasi Kota Palu sebesar 0,46 persen berasal dari andil kelompok pengeluaran perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar sebesar 0,412 persen. Kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 0,054 persen, dan kelompok kesehatan sebesar 0,032 persen, serta makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau (0,011 persen).
“Sementara andil negatif terhadap inflasi disumbangkan oleh kelompok pengeluaran bahan makanan serta sandang,” sebutnya. Yakni, masing-masing sebesar 0,046 persen dan 0,003 persen. Pada periode yang sama, kelompok pengeluaran pendidikan, rekreasi, dan olahraga relatif tidak mengalami perubahan.
Bila laju inflasi tahun kalender sampai dengan April 2017 sebesar 2,34 persen, maka inflasi year on year (April 2017 terhadap April 2016) di Kota Palu adalah sebesar 5,09 persen. Dari 82 kota pantauan IHK (Indeks Harga Konsumen/inflasi) nasional, sebanyak 53 kota mengalami inflasi. Dan 29 kota lainnya mengalami deflasi.
Inflasi tertinggi terjadi di Kota Pangkal Pinang sebesar 1,02 persen, sedangkan deflasi tertinggi terjadi di Kota Singaraja sebesar 1,08 persen. Kota Palu mengalami inflasi sebesar 0,46 persen, menempati urutan ke-4 inflasi tertinggi di Kawasan Sulampua dan ke-10 secara nasional. (ars)