
Oleh: Dr. Rahmat Bakri SH MH, *)
LAHIRNYA Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam sidang pleno 25 Januari 2017 akan mengubah secara radikal paradigma pemberantasan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) di negeri ini. Putusan yang dihasilkan dengan komposisi hakim 5: 4 (dissenting opinions) setidaknya berimplikasi secara mendasar terhadap tiga hal.
Pertama, dari aspek hukum pidana. Putusan MK telah mengubah kualifikasi delik Tipikor, dari delik formil menjadi delik materil. Kedua, dari sisi hukum administrasi. Kesalahan administratif yang
dilakukan oleh badan/pejabat pemerintahan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara mendahulukan penyelesaian melalui proses administratif. Penerapan sanksi pidana benar-benar sebagai upaya terakhir (ultimum remedium).
Ketiga, dari aspek hukum keuangan negara. Dengan menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka penetapan kerugian keuangan negara harus bersifat actual loss (nyata-nyata menimbulkan kerugian). Tidak lagi yang bersifat potential loss (kerugian masih sebagai kemungkinan).
Putusan ini sebenarnya selaras atau sinkron dengan pengertian kerugian keuangan negara yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 22 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Makna frasa “yang nyata dan pasti jumlahnya” sebagai unsur dari formulasi kerugian keuangan negara/daerah tentu tidak bersifat potensial. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan nyata: terang; benar-benar ada; terbukti
sedangkan pasti: sudah tetap; tidak boleh tidak; tentu; mesti.
Pendapat di atas, pernah saya sampaikan saat memberi keterangan ahli dalam salah satu sidang Tipikor di Pengadilan Negeri Palu, Agustus 2016 silam dan saya singgung pula dalam tulisan di kolom ini edisi 15
Agustus 2016.
Semoga dengan Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 makin memberikan keyakinan kepada hakim untuk memutus suatu perkara Tipikor dengan pertimbangan yang komperehensif. Senafas dengan pertimbangan putusan MK yang mengadopsi pergeseran paradigma penerapan unsur kerugian keuangan negara dalam Tipikor berkenaan dengan berlakunya UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Penegasan kerugian keuangan negara yang bersifat actual loss diharapkan pula meminimalisir praktik-praktik kriminalisasi terhadap kebijakan atau keputusan diskresi yang diambil badan/pejabat pemerintah. Secara teoretis pendekatan potential loss untuk menetapkan kerugian keuangan negara, meskipun dengan mempertimbangkan suatu keadaan khusus dan konkret di sekitar peristiwa yang terjadi untuk menarik suatu kesimpulan secara logis, cenderung menganut konsep post-truth (opini mendahului fakta).
Konsep ini mendahulukan pembenaran tanpa menggali kebenaran dari suatu fakta. Akibatnya dalam praktik, pemberantasan Tipikor kadang berkembang secara liar untuk tujuan-tujuan lain. Sangat potensial digunakan untuk tujuan politik atau hanya keisengan oknum-oknum penegak hukum.
Pejabat publik akhirnya takut mengambil suatu kebijakan atau khawatir kebijakan yang diambil akan tersangkut Tipikor sehingga akan berdampak pada stagnasi proses penyelenggaraan negara, rendahnya penyerapan anggaran, dan terganggunya pertumbuhan investasi.
Pemberantasan korupsi sebagai hostis humani generis (musuh bersama umat manusia) tidak boleh surut tapi pencapaiannya harus melalui tertib hukum yang berkepastian. ***
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulak