
BELASAN anak-anak dan remaja dengan sabar mengikuti prosesi Adat Pokeso tahap demi tahap, mulai Jumat (10/2) sore, hingga Sabtu (11/2) pagi. Akhir dari seluruh rangkaian adat Pokeso ini ditutup dengan pembacaan doa selamat, melibatkan beberapa orang pegawai sara setempat. Berikut catatan Koran ini yang berkesempatan mengikutinya tahap demi tahap.
LAPORAN : Arwansyah, Palolo
ADAT Pokeso diawali dengan nogeso ngisi atau menggosok gigi bagian depan sebanyak tiga kali dengan batu yang disiapkan khusus. Dilanjutkan dengan nokolontigi atau mewarnai kuku jari tangan dan kaki dengan daun pacar yang ditumbuk halus.
Usai nokolontigi anak-anak dan remaja yang menjalani adat Pokeso tidak boleh, menginjak tanah, apalagi pulang ke rumah masing-masing. Semua wajib tidur di rumah tempat upacara adat. Pada pagi harinya (Sabtu, 11/2) tahapan selanjutnya adalah menginjak kampak, daun sukun dan beberapa jenis rerumputan yang disiapkan khusus di depan pintu keluar.
Di sisi kiri dan kanan pintu diletakkan pelepah sagu, sebagai penanda bahwa di rumah tersebut sedang dilaksanakan Pokeso. Selain kampak dan beberapa jenis rerumputan, di depan pintu keluar (pintu depan) juga ditata memanjang tiga pelepah sagu. Di ujungnya pelepah sagu yang ketiga, disiapkan Loyang berisi air.
Sebelum mengikut tahapan selanjutnya, setiap peserta upacara adat Pokeso dirias ala Pokeso. Anak/remaja laki-laki pakai sarung, ikat kepala dari kain kulit kayu dan ditancapkan beberapa tangkai bunga. Serta ditempelkan bedak cair pada pipi kiri dan kanan serta dahi.
Riasan anak perempuan relatif sama dengan anak laki-laki. Ketambahannya, anak perempuan memakai baju yang terbuat dari kain kulit kayu. Dan pada bagian wajah, selain bedak cair dari beras, pada pipi kiri-kanan dan dahi juga diwarnai dengan spidol warna merah dan hitam.
Dengan dipandu orang tua adat, Bido, sambil membawa parang guma satu persatu anak dituntun menuju pintu keluar. Dituntun menginjak kampak, daun sukun dan beberapa jenis rerumputan yang diletakkan tepat di depan pintu masuk. Ini sebagai simbol dari kesiapan si anak dalam menjalani hidup.
Dalam upacara adat pokeso Kaili Da’a dikenal istilah Vati atau asal usul leluhur, yang ‘disimbolkan’ dengan hewan dan atau tumbuhan seperti Babi hutan dan ayam, Bambu Kuning dan yang lainnya. Walau masih dalam ikatan keluarga dekat, pada upacara adat Pokeso kali ini belasan anak dan remaja ini dipisahkan dalam dua Vati, Vati Babi hutan dan Vati Ayam.
Seluruh tahapan relatif sama. Yang membedakan adalah properti yang digunakan pada tahapan sebelum menginjak Kampak. Untuk anak ber-vati Babi, ujung ibu jari kaki kanan didekatkan (hampir menyentuh) gigi babi yang dipegang pemimpinan upacara adat ini. Sambil memandu prosesi ini, Bido membaca mantra-mantra/doa-doa. “Kalau orang tua dulu, anak Vati Babi itu, babinya yang diinjak,” cerita Bido.
Sementara, untuk anak ber-vati ayam, ujung ibu jari kaki kanannya di dekatkan pada hati ayam yang sudah dibakar. Setelah ‘melewati’ simbol dari vati ini, dilanjutkan dengan menginjak kampak, daun sukun dan beberapa jenis rerumputan. Tahapan ini prosesinya adalah semacam penyampaian kepada leluhur bahwa turunannya telah memenuhi ‘kewajibannya’.
Selanjutnya si anak berjalan meniti pelepah sagu menuju ke wadah loyang yang isi air. Wajib meniti pelepah/daun sagu, tidak boleh menginjak tanah. Sampai di dekat loyang yang berisi air, tahapan selanjutnya adalah membasuh muka setiap peserta Pokeso sebanyak tiga kali. Dilakukan oleh pemimpin upacara adat, sambil membaca mantera-mantera dan doa-doa dalam bahasa Kaili Da’a.
Bila disimak dan diartikan dalam bahasa Indonesia, mantera-mantera yang diucapkan oleh orang tua adat itu adalah permohonan kepada sang pencipta, agar anak yang mengkuti upacara adat ini kelak terhindar dari berbagai hal-hal buruk. Arti dari mantera-mantera yang diucapkan relatif sama dengan yang diucapkan pada tahapan-tahapan sebelumnya.
“Kalau kita ini di daerah yang ada air mengalir, anak ini meniti pelepah sagu sampai di sungai. Cuci muka pakai air sungai. Tapi di sinikan jauh dari air mengalir, kita pakai air di loyang saja. Adat itu kan juga tidak bikin susah,” jelas Bido di sela-sela kesibukannya melaksanakan prosesi adat.
Ia mengungkapkan, beberapa tahapan adat Pokeso telah menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Tidak mesti dilakukan sama persis dengan yang dilakukan oleh orang-orang tua terdahulu. Termasuk juga dalam penggunaan berbagai macam dan jenis property yang digunakan. Sebagai contoh parang guma bisa diganti dengan parang biasa. Pewarna alami untuk merias wajah bisa diganti dengan pensil warna atau spidol warna.
Yang paling penting kata dia, niat dan keikhlasan untuk melaksanakannya dan mantera-mantera serta doa-doa diucapkan dengan baik. Maka, seorang anak terhindar dari segala macam hal-hal buruk, baik fisik maupun mental.
“Pokeso ini kan juga wujud dari pengorbanan. Kalau ingin baik kita harus berani berkorban. Berkorban waktu, biaya dan tenaga untuk melaksanakan Pokeso. Pengorbanan ini juga ditunjukkan oleh orang-orang tua kami dulu,” jelasnya singkat.
Usai membasuh muka, anak yang menjalani pokeso kembali masuk ke dalam rumah tempat acara. Dengan dipandu orang tua adat, satu persatu aksesori yang digunakan dilepaskan. Mulai dari parang yang dibawa, ikat kepada dan bunga, baju dari kulit kayu bagi perempuan, dan sarung yang dipakai. Dan selanjutnya, giliran anak-anak lainnya.
Setelah selesai seluruh anak menjalani seluruh tahapan, sebagai penutup, dilakukan pembacaan doa selamat. Melibatkan beberapa orang pegawai sara, atau yang lebih dikenal dengan istilah Nolabe.
Ditata tiga buah baki yang kelilingi pegawai sara, anak-anak dan remaja peserta Pokeso serta keluarga dan kerabat. Di dalam setiap baki terdapat satu piring nasi dari beras pulut putih yang ditengahnya ditancap satu butir telur rebus. Ditambah dengan beberapa macam kue basah. Tidak ketinggalan, pisang ambon. Usai Nolabe dan bersalaman, acara ditutup dengan santap bersama.
“Ini sudah menjadi kebiasaan kami. Setiap selesai acara adat, mesti ditutup dengan baca doa selamat,” jelas Bido.(***)