
SUKU Kaili kaya dengan berbagai tradisi dan budaya. Salah satunya yang sampai saat ini masih terus dipertahankan adalah Pokeso, seperti yang dilaksanakan Jumat (10/2) sore hingga Sabtu (11/2) pagi, di Desa Bobo, Kecamatan Palolo. Radar Sulteng berkesempatan mengikuti berbagai tahapan upacara adat yang dikuti belasan anak-anak dan remaja ini.
LAPORAN : Arwansyah
POKESO adalah salah satu upacara adat yang sampai saat ini masih dilakoni oleh sebagian warga Suku Kaili yang masih meyakininya. Biasanya diikuti bayi, kanak-kanak, anak,anak hingga remaja. Tujuannya, agar dewasa kelak selalu hidup dalam kebaikan. Dan dijauhkan dari segala hal-hal buruk seperti difitnah dan memfitnah, berbohong dan dibohongi, mengalami kecelakaan atau di celakai serta berbagai hal-hal buruk lainnya.
Diyakini, bila Pokeso tidak dilaksanakan maka si anak ketika dewasa akan mengalami berbagai hal-hal buruk, baik secara fisik maupun mental. Termasuk di dalamnya sulit untuk bisa hidup mandiri dan tidak ‘tahan banting’ dalam menghadapi berbagai tantangan serta dinamika dalam kehidupannya.
Adat Pokeso dilaksanakan oleh hampir semua sub etnis Kaili, seperti Kaili Ledo, Tara, Da’a, Ija, Ado dan beberapa sub etnis Kaili yang lain. Dalam setiap sub etnis ada beberapa perbedaan tahapan prosesi pada setiap sub etnis Kaili. Termasuk perbedaan bahasa digunakan dalam mantra-mantera dan doa, yang disesuaikan dengan dengan masing—masing sub etnis.
Adat pokeso yang dilaksanakan Jumat( 10/2) sore sampai Sabtu (11/2) pagi, pekan lalu dilaksanakan di salah satu rumah warga di Desa Bobo, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi. Dipimpin oleh orang tua adat dari Desa Balane, Kecamatan Kinovaro, Kabupaten Sigi. Namanya, Bido, atau yang akrab disapa Papa Fiana.
Kakek-Nenek dari dari belasan anak-anak dan remaja yang mengikuti Pokeso ini berasal dari Desa Balane dan sekitarnya, yang sudah puluhan tahun bermukim di Desa Bobo, Kecamatan Palolo.
Meski demikian komunikasi dan hubungan kekerabatan dengan daerah asal tetap terjalin dengan baik, termasuk dalam hal adat, tradisi, dan budaya. Walau dipisahkan dengan jarak puluhan kilometer, saling mengunjungi dan bersilaturahmi tetap berjalan dengan baik.
Upacara adat pokeso diawali dengan Nogeso Ngisi. Yakni, menggosok gigi bagian depan anak sebanyak tiga kali, dengan yang sudah disiapkan. Sebelum Nogeso Ngisi pemimpin upacara, Bido, terlebih dahulu membacakan mantra-mantra.
Bila disimak dengan baik, mantra-mantra tersebut berisi doa-doa permohonan kepada yang maha kuasa agar setelah dewasa nanti anak-anak yang menjalani upacara adat ini terhindar dari segala macam hal-hal buruk. Dan juga dimurahkan dan dimudahkan jodoh dan rezeki, disayangi sesama dan berbagai hal-hal baik lainnya.
Usai prosesi ini, pada malam hari semua anak wajib mewarnai kuku jari tangan dan kaki dengan menggunakan daun pacar yang ditumbuk halus, atau yang lebih dikenal dengan istilah Nokolontigi. Prosesi juga biasanya dijalani oleh calon pengantin pada adat perkawinan suku Kaili.
Setelah Nokolontigi anak-anak ‘dikurung’ dalam rumah tempat pelaksanaan acara. Tidak dibolehkan menginjak tanah apalagi keluar rumah sampai pada pelaksanaan tahapan acara selanjutnya keesokan harinya. Mandi, ganti pakaian, makan dan tidur wajib dilakukan di rumah tempat acara.
Sebagai bentuk ‘solidaritas’ bukan hanya anak-anak yang mengikuti Pokeso yang bermalam di rumah tempat acara tapi juga ayah, ibu, kakak, kakek, nenek dan kerabat. Alhasil, rumah tempat acara pun menjadi sangat ramai.
Nokolontigi bisa dilakukan sendiri, juga bisa dibantu oleh anggota keluarga yang lain. Mulai dari menghaluskan daun pacar, menempelkan pada kuku jari tangan dan kaki hingga membungkusnya dengan daun jarak. Pada prosesi Nokolontigi ini nuansa kekeluargaan sangat kental.
Bercengkrama, bersenda gurau, berfoto selfie dan yang lainnya. Moment ini menjadi sarana ‘bernostalgia’ antar keluarga. Antar sepupu satu kali dan sepupu dua kali. Antar paman-tante dan kemenakan, antara kakek-nenek dan cucu serta kerabat-kerabat lainnya.
Sabtu (11/2) pagi, Pokeso dilanjutkan. Sebelum mengikuti tahapan selanjutnya, secara bergiliran anak-anak laki-laki dan perempuan peserta Pokeso didandani. Dipasangi ikat kepala dan ditancapkan bunga aneka warna, wajah ditempel bedak dan pewarna. Khusus untuk anak perempuan, memakai baju dari kulit kayu.(**)