FEATURETOLITOLI

Menengok Balre Adat Masigi, dari Kesultanan Tolitoli

Dilihat
Balre Adat Tolitoli di Kelurahan Nalu, di dalamnya tersimpan sebagian kecil peninggalan kesultanan Tolitoli. (Foto: Ahmad Hamdani)

ISLAM dan perkembangannya merupakan histori mengagumkan yang tidak bisa dipisahkan dari kultur masyarakat Kota Cengkeh-julukan Kabupaten Tolitoli. Rezim Kesultanan sebagai kerajaan Islam kala itu, keagungannya merebak hingga ke kampung-kampung terpencil. Secuil kisah itu sedikit tersimpan di Balre Adat Masigi, rumah sultan.

Laporan : Ahmad Hamdani, Tolitoli

TOLITOLI, nama itu dikenal warga nusantara karena hasil perkebunannya yang melimpah, sebut saja cengkeh, kelapa, cocoa, ditambah padi sawah dan potensi perikanan pernah membuat “ngiler” para penjajah.

Dalam cerita rakyat, Tolitoli awalnya berasal dari kata Totolu yang berarti tiga. Konon ada yang mengartikannya sebagai tiga manusia kayangan turun ke bumi dan menjelma menjadi tiga bentuk. Pertama, olisan bulan dalam bahasa Indonesia yang berarti bambu emas.

Kedua, bumbung lanjat yang bermakna puncak pohon langsat. Dan ketiga, ue saka yang dapat dipahami seperti sejenis rotan. Kemudian berganti menjadi Tontoli dan terakhir berubah menjadi Tolitoli.

Di era kekinian dan merasuknya budaya modern, sejarah Islam dan kesultanan Tolitoli perlahan tergerus, generasi muda pun mulai menatap busana dan kesenian asing melalui gadget dan perkembangan internet.

Beruntung, di balik psywar teknologi itu, masih ada sekelompok kaum yang mau berjuang, atau setidaknya ikut membantu melestarikan adat budaya leluhurnya di balik layar orisinal rumah sultan atau disebut Balre Adat.

Balre Adat berada di tengah-tengah pemukiman warga, tepatnya di Jl. Sona, Kelurahan Nalu Kecamatan Baolan. Rumah adat kesultanan ini identik dengan warna kuning dan hijau, menghiasi setiap dinding, pagar, dan pilar bangunan berbentuk panggung.

Dari sejumlah rumah adat yang ada di Pulau Celebes, rata-rata memiliki bentuk dan corak yang hampir sama, yakni rumah panggung. Hanya saja, ada hal-hal unik yang menjadi pembeda. Bentuk atap Balre Masigi bertingkat, jumlahnya lima susun yang melambangkan rukun Islam. Dalam bahasa Tolitoli, tangga yang digunakan disebut ondan diapala dengan ditambah ornamen kepala buaya, mempunyai arti kekuasaan dan menggambarkan bahwa masyarakat suku Tolitoli bersifat sabar tetapi akan marah ketika wilayahnya diganggu.

Menaiki tangga pertama Balre, Anda bisa menikmati ukiran pagar yang khas bercorak religi keislaman, pola pahatan juga tidak terlalu rumit saat diperhatikan, sehingga untuk memandangnya tidaklah membosankan.

Disebutkan Yandi Helmi, pengurus sekaligus Koordinator Ritual Balre Adat Masigi, sisa peninggalan kesultanan yang tersimpan saat ini adalah keris milik Sultan Amrikum Mirfattah Jamalul Alam. Kemudian ada guci terbuat dari kuningan, perabotan rumah tangga termasuk tempat tidur sultan.

“Sebenarnya benda-benda pusaka kesultanan banyak sekali, tapi sebagian besar disimpan ahli keluarga, bahkan dari hasil survei kami, di kawasan Pantai Barat, Kabupaten Donggala terdapat silsilah kesultanan yang tertulis di atas daun lontar.  Ini PR kami untuk mengumpulkan semua benda pusaka,” tutur Yandi yang berharap ada dukungan dari pemerintah daerah.

Ia merincikan, pada tahun 1770, Sultan pertama yang dilantik di Ternate yakni Sultan Saifuddin bergelar Imbaisuk Manangumi Langgai Datu Amas. Tapi, sekembalinya dari Ternate, Sultan Saifuddin meninggal dunia di Tanjung Dako, Kabupaten Buol. Lalu ia digantikan oleh Sultan Janggu Syarfil Alamsyah.

Dalam perjalanan waktu, silsilah kesultanan kemudian berpindah tahta hingga sultan ke-16 yakni H. Anwar Bantilan, dilanjutkan keturunannya yakni H. Moh Saleh Bantilan yang juga Bupati Tolitoli, dan baru saja dilantik sebagai sultan atau raja belum lama ini.

Untuk sementara, pengunjung yang hendak datang berkunjung tidak dipungut biaya alias gratis, karena Balre Adat memang dibuka untuk umum. Hanya saja, karena belum lama ini dilangsungkan upacara penobatan bupati sebagai raja, sehingga Balre Adat belum dibuka karena dalam penataan ulang.

Yandi tidak mengelak ketika disinggung munculnya isu “siapa mengaku siapa” terkait keberadaan Balre Adat dan hubungannya di antara bunker milik Belanda di pantai Kelurahan Nalu, hingga menimbulkan buah bibir di tengah masyarakat saat ini.

“Terlepas dari itu semua, yang terpenting saat ini adalah bagaimana menjaga kemurnian budaya dan adat istiadat secara bijaksana, dan meninggalkan perselesihan yang mengakibatkan runtuhnya persatuan,” saran dia.

Melanjutkan niat pendahulu agar sejarah budaya tidak semakin punah, Yandi menambahkan, di tahun 2018 ia dan rekan-rekan seperjuangannya bertekad untuk membuka program pembinaan bagi kawula muda untuk ikut serta dalam program pelestarian kesenian musik tradisional, tari tradisional, kuliner tradisional, dan ragam lainnya. Pelestarian ini harus segera digeber sebelum pemuka dan pewaris adat tidak bisa lagi mewarisi kisah dan sisa peninggalan kesultanan.

“Tolitoli mulanya diperkuat kesatuan tiga suku etnis berbeda yakni suku Tolitoli, Dondo, dan Dampal. Nah, melalui Balre Adat ini kami juga ingin menguatkan kembali semangat persatuan yang dulu terjaga baik, termasuk semangat nasionalisme bersama semua etnis yang ada di Kabupaten Tolitoli,” serunya.

Seperti apa peran dan dukungan pemerintah daerah “wabilkhusus” Dinas Pariwisata maupun Dinas Pendidikan dan Kebudayaan ? Yandi mengakui, bahwa peran kedua instansi ini memang belum begitu signifikan.

Padahal, peluang potensi yang bisa digali begitu besar. Sebagai contoh, di sektor pariwisata, tentu Balre Adat bisa dikaitkan dalam bingkai destinasi wisata setelah ada upaya promosi secara terbuka.

Kemudian Dinas Pendidikan bisa mengambil peluang pada edukasi budaya bagi generasi muda, dan pelestarian budaya. Peluang-peluang ini menurut Yandi akan menjadi pendorong bagi peningkatan PAD Tolitoli, sekaligus membuat Tolitoli semakin dikenal sebagai daerah tujuan wisata internasional.(**)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.