SIGI-Draf Police Brief tentang partisipasi penyandang disabilitas dan lanjut usia (Lansia), dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (PPB) yang ingklusi di Kabupaten Sigi, menjadi diskusi hangat yang diselenggarakan oleh DMC DD, dengan menggandeng Pokja Opdis dan LKS LU Pelita Hati di salah satu cafe di Kota Palu, Sabtu (20/08/2022).
Diskusi yang menghadirkan tiga narasumber yakni, dari akademisi Dr. Rustam Efendi tim perumus Police Brief, Jauhari dari BP3D Sigi dan Saiful Taslim dari Forum Peduli Risiko Bencana (FPRB) Kabupaten Sigi itu, menghimpun masukan dari para peserta untuk mendorong penyelenggaraan penanggulangan bencana yang inklusif di Kabupaten Sigi.
“ Dalam pelaksanaan penanggulangan bencana, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sigi sudah melakukan hal yang sesuai dengan ketentuan, respon penanganan kebencanaan maupun hal lain dalam membantu masyarakat yang terdampak, “ kata Jauhari.
Tentunya hal tersebut, menjadi tugas masing-masing Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang terkait, untuk melakukan tindakan yang harus dilaksanakan. Menyangkut penyelenggaraan penanggulangan bencana yang inklusif, sambungnya, Pemkab Sigi juga selama ini telah menyentuh saudara-saudara yang berisiko (rentan) disabilitas dan lansia, dengan memberikan bantuan yang dibutuhkan.
“ Ada beberapa desa yang selama ini sudah membantu kita, seperti tongkat kursi roda bagi saudara kita yang sulit berjalan. Demikian juga alat dengar bagi yang sulit mendengar,” ujarnya.
Dengan adanya kegiatan Police Brief dengan mengusung dan mendorong penyelenggaraan penanggulangan bencana yang inklusif ini, kata Jauhari, pihaknya sangat mendukung dan akan lebih menguatkan regulasi yang ada di Pemkab Sigi, agar kelompok rentan disabilitas dan lansia juga mendapat hak yang sama.
Disatu sisi, Rustam Efendi menyatakan, Police Brief merupakan rangkaian sejumlah penelitian yang dilakukan terkait dengan penaggulangan bencana yang inklusif. Hari ini, masih kata dia, dengan hadirnya beberapa lembaga termasuk organisasi disabilitas (Opdis) dan LKS LU yang menangani lansia, serta sejumlah lembaga kemanusiaan dan pihak OPD Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulteng, menjadi sebuah kekuatan dalam mendorong Pemkab Sigi dalam memberikan pemahaman bencana yang inklusif.
“ Pertemuan ini sangat baik dan Police Brief yang didiskusikan saat ini, akan menjadi masukan dan sebuah penguatan dalam mendorong kebijakan yang sangat penting dalam kebencanaan yang inklusif, ” ujarnya.
Saiful Taslim dari FPRB Sigi menyatakan, Police Brief ini sangat perlu, karena dengan pertemuan ini akan mendapatkan masukan terkait penanganan kebencanaan yang inklusif.
Diketahui bahwa, terlaksananya kegiatan tersebut, diselenggarakan atas dukungan kemitraan ASB, Audisi, HFI, RDI dan HIF yang di dalam sebuah program yang dinamakan PIONEER.
Dia menyebutkan komponen dalam mitigasi bencana terdiri dari lima komponen. Meski beberapa term yang berbeda dalam cara pandang soal disabilitas dan difabel, tapi paling tidak kita gunakan Disabilitas karena undang-undnag menyebut disabilitas. Perbedaan disabilitas dan difabel hanya ada pada gerak dan keterbatasan gerak.
“ Kawan-kawan disabilitas ini sedang mendorong bagaimana dalam pengurangan risiko bencana yang perspektifnya inklusi. Sebagai mandat instisusi, yaitu data pilah dan partisipasi bermakna yang tidak hanya kehadirannya saja tetapi juga harus didengar. Kemudian pembangunan yang aksesbilitas, “ jelas Taslim.
Menurutnya, mandat aksebilitas, kita semua akan menjadi disabilitas pada saatnya nanti. Bila kita sudah tua, tentu akan banyak keterbatasan kita. “ Kita tinggal menunggu waktu saja menjadi kelompomk rentan, kalau sudah tua kita masuk disabilitas, “ sebutnya.
Dikatakannya pembangunan tidak sensitif tentang itu. Karena kita masih muda rancang memang kehidupan kita. Contoh ada sebuah bangunan yang punya tangga-tangga banyak dan tinggi. Orang tua naik di tangga itu sudah tersengal-sengal, ngos-ngosan.
Kemudian mandat proteksion, kelompok-kelompok ini harus didekati secara khusus. Harapan tertinggi meraka adalah mereka harus dipandang sama.
“ Mereka punya potensi, punya pikiran yang sama, punya gagasan, tetapi mereka tidak dianggap. Padahal yang dianggap cacat itu seperti meja tidak ada kakinya. Tapi manusia itu berbeda masih punya pemikiran dan perasaan, “ paparnya.
Karena itu Taslim masih terus konsen dengan kebersamaan kelompok-kelompok disabilitas untuk mendorong bagaimana kelompok ini didengar dan diakomodir, harapan-harapannya diwujudkan dalam perencanaan di sebuah pembangunan daerah.
Dikatakannya, PRB Sigi itu terdiri dari penta heliks atau lima komponen, yaitu pemerintah, LSM, akademisi, pers, dan kalangan dunia usaha. Nah dalam konteks ini, dari kalangan dunia usaha ini yang sulit untuk diajak masuk bergabung.
“ Ada tiga mandat di Sigi yang kita dorong. Penguatan koordinasi, semua LSM bergerak dalam penanggulangan bencana. Ajak ketemu untuk berkoordinasi. Semua harus terditribusi, dan mendapat layanan, “ bebernya.
Membentuk forum di tingkat desa, membuat rencana kontijensi tingkat desa, bikin simulasi di desa. Dengan begitu kita sudah berbagi peran. Wilayah desa harus diperkuat. Sigi itu akan ada Dana Desa (DD) dialokasikan untuk memperkuat penanganan bencana yang memperhatikan kelompok rentan. Mendapatkan layanan dengan baik.
“Sehingga tidak ada alasan bagi desa untuk tidak memberikan dananya untuk penanganan bencana, “ ujarnya.
Ditanyakan apakah kelompok rentan tersentuh? Dikatakannya, tersentuh. LSM perespon ada yang bertugas sangat spesifik mengurus kelompok rentan ini. Misalnya membuat kontijensi bagaimana tindakan Puskesmas kalau terjadi bencana apakah kelompok rentan ini menjadi prioritas ditangani.
Sigi itu ada penguatan koordinasi dan penguatan tata kelola. Di penguatan tata kelola ini dengan peraturan dan dokumen kebencanaan begitu banyak ragamnya. Mulai kajian risiko, Sigi punya sudah. Kemudian Rencana Penanggulangan Bencana Daerah (RPBD).
“ Nah RPBD ini satu umur dengan RPJMD Kabupaten Sigi. Dalam dokumen diuraikan apa kegiatan sebelum bencana, saat bencana dan pasca bencana, “ ujarnya.
Ada lagi dokumen penanganan rencana kedaruratan (PRKD). Kalau misalnya terjadi kegiatan apa yang harus kita lalukan secara tiba-tiba. Jadi SOP-nya dari dokumen ini dari PRKD. Jadi kalau ada kejadian BPBD sebagai otorita yang bertanggungjawab penanganan bencananya. Dengan sistem komandonya.
Disebutkannya, rencana kontijensi, yaitu kontijensi gempa, kontijensi banjir itu berbeda-beda. Di Sigi baru dua, yaitu kontijensi gempa dan banjir.
Diungkapkannya diskusi tentang inklusi ini termasuk baru. Orang bertanya-tanya apakah inklusi itu. Sebagai kewajiban juga dari lembaga donor, lembaga pemberi bantuan. Kita butuh proses, kita harapkan semua OPD lebih familiar dengan istilah-isilah disabilitas ini.
Bagaimana dengan mendorong untuk menjadi Perda? Dikatakannya bahwa Perda tentang bencana di Kabupaten Sigi itu sudah ada. Perdanya dulu, kata Taslim, dibuat untuk landasan pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
“Hanya Perda itu dibuat dalam konteks sebelum bencana sehingga masih seperti Undang-undang Nomor 24, masih sangat umum dan normatif, belum mengcover apa saja yang terjadi dan menjadi kebutuhan setelah bencana terjadi, “ ucapnya.
Dijelaskannya setelah bencana begitu banyak pelajaran. Hal yang terkait dengan sistem penanganan kebencanaan itu yang harus direvisi. Itulah yang masih dinegosiasiakan dengan legislatif (DPRD) nanti.(mch)