POSO – Nasib petani jagung di Soulopa Bawah, Desa Tonusu, Pamona Pusalemba tak seberuntung warga lain yang sudah mendapat kompensasi dari proyek PLTA. Padahal sejumlah lahan jagung di desa tersebut juga tergenang air Danau Poso.
Raut kekesalan tidak bisa ditutupi Yosafat Tobase (55), ketika menunjukan lahan jagungnya yang sudah tidak lagi berproduksi. Meski beberapa bulan terakhir air telah surut dari lahannya, Yosafat masih trauma untuk menanam jagung kembali. “Dulu akhir 2019 sudah habis banyak saya untu memodali tanam jagung, pas sudah agak tinggi direndam air, mati semua jagung yanh kami tanam dengan biaya produksi yang banyak,” keluh Yosafat.
Akibat lahan jagung yang tidak jadi panen, sempat membuat anaknya yang berkuliah di Fakultas Teknik Universitas Tadulako nyaris berhenti kuliah. Yosafat pun harus putar otak biar bisa tetap memberikan pendidikan yang layak bagi anaknya. “Terpaksa yang tadinya saya punya kebun jagung, jadi buruh di kebunnya orang. Sehari paling hanya dapat Rp80 ribu, itu yang dicukup-cukupkan,” ungkapnya.
Sejak tahun 2020 hingga agustus 2022 lahan jagung seluas 1 hektar lebih milik Yosafat tergenang air Danau Poso. Dia juga memastikan bahwa lahan yang tergenang akibat dari telah beroperasinya bendung PLTA di aliran sungai Poso sejak 2019 lalu. Air yang ada di Danau Poso, yang semestinya mengalir ke Sungai Poso terhambat, hingga meluap ke kebun jagung miliknya. “Bayangkan, saya harus mengeluarkan modal banyak untuk menanam jagung, tapi pada akhirnya tidak jadi panen,” ungkapnya.
Dia pun masih memiliki utang untuk modal produmak, yang didapat dari pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank milik pemerintah. Meski sempat meminta penangguhan pembayaran, kini Yosafat dibuat pusing untuk membayar sisa utangnya yang masih cukup banyak.
“Kalau desa lain yang terdampak adanya PLTA mereka diberikan kompensasi. Sedangkan kami yang lahan jagung ini dianggap tidak terdampak, oleh perusahaan,” sebutnya.
Padahal dahulu, sebelum ladang miliknya tergenang lama oleh air Danau Poso, dia bisa melakukan panen jagung dua kali. Hasil yang didapat bisa sampai 7 ton, dengan harga jual jagung ketika itu sampai Rp4.000 perkilogramnya.
Berbagai perjuangan dilakukan Yosafat. Dia bahkan sampai ikut berunjukrasa ke kantor Gubernur Sulteng. Namun harus pulang dengan kecewa karena tidak berhasil bertemu Gubernur Sulteng, Rusdy Mastura, yang dipilihnya saat Pilkada 2020 silam. “Saya padahal pendukung bung Cudy (Gubernur) tapi beliau tidak mau ketemu dan dengar apa yang jadi keluhan kami,” sebutnya.
Yosafat sendiri juga berprofesi sebagai guru di sekolah swasta yang ada di Tentena. Gajinya pun tidak begitu banyak. Dia juga sempat pula diingatkan rekan sesama guru lain, agar tidak terlalu melawan perusahaan. “Tapi saya sampaikan apa yang saya lakukan ini menuntut hak saya, bukan membawa nama institusi sekolah, tapi pribadi saya sendiri,” tuturnya.
Khusus untuk ikut unjukrasa langsung ke perusahan, Yosafat mengaku tidak terhitung lagi berapa kali dilakukan. Bahkan dirinya ikut acara adat mengilu, yaitu semacam melaporkan atau mengadu kondisi yang mereka alami. Namun juga tidak mendapat tanggapan perusahaan. “Tetap saja lahan saya ini dianggap bukan yang terdampak,” geramnya. (agg)