PALU-Menyikapi tewasnya salah satu warga Desa Tada Kecamatan Kasimbar Kabupaten Parigi Moutong (Parimo), disaat terjadinya aksi unjukrasa menolak tambang PT. Trio Kencana, Ketua Komnas HAM Perwakilan Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), Dedi Askary, SH, dalam pernyataannya kepada Radar Sulteng, Selasa (15/2), mengatakan pihaknya melakukan penyelidikan lapangan apa penyebab terjadinya peristiwa tertembaknya almarhum Erfaldi (21), hingga tewas mengenaskan.
“ Soalnya kemudian, sebab kematiannya itu dikatakan karena tertembak peluru. Penyelidikan lapangan kita menemukan proyektil peluru tajam yang bersarang di tubuh Erfaldi, “ beber Dedi Askary.
“ Nah, proyektil peluru tajam dari senjata milik siapa, atau senjata satuan mana itu yang masih simpang siur. Olehnya kemarin kita dorong langkah signifikan, secepatnya harus diambil oleh pimpinan kepolisian di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah, dalam hal ini Kapolda Sulteng. Beliau sangat merespon dan menurunkan pada hari itu juga tim Laboratorium Forensik (Labfor) untuk turun melakukan penyelidikan. Kemarin pagi, tim Labfor sudah bekerja untuk melakukan penyelidikan sebab-sebab kematian Erfaldi, “ papar Dedi Askary.
Menurutnya, hanya dengan uji balistiklah akan diketahui peluru yang bersarang di tubuh almarhum itu berasal dari senjata yang dikuasai oleh anggota yang mana.
Olehnya, kata dia, langkah kerja yang memeriksa proyektil juga akan memberikan kejelasan terang benderang senjata anggota yang jarak atau posisinya tidak jauh dari posisi terakhir almarhum tertembak.
“ Termasuk juga mengukur jarak, kecepatan, dan daya jangkau peluru yang digunakan yang bersarang di tubuh almarhum. Dalam uji balistik juga akan teridentifikasi karena peluru yang keluar akan menyisakan ulir dalam laras senjata itu. Ulir menggambarkan proyektil yang ada. Oleh karenanya, proyektil diperiksa dan senjata juga harus diperiksa, “ ucapnya.
Selain itu ada ada serbuk kimia setelah terjadi ledakan itu ada pancaran yang terciprat ditangan dan baju. Itu semua yang diperiksa oleh tim Labfor.
Dikatakannya, mengenai pemeriksaan personel polisi pihak Komnas HAM menyerahkan sepenuhnya kepada internal Polda, dalam hal ini Propam Polda.
“Tetapi kemarin dalam rapat terbatas kami dengan Polda. Kapolda Sulteng memastikan dan mengeluarkan perintah temukan, proses, jika tidak sesuai prosedur di PTDH-kan, “ ujarnya.
Dedi juga menyoroti soal penanganan massa aksi dari kepolisian. Dijelaskannya, sesungguhnya peristiwa chaos yang berujung jatuhnya korban jiwa, dan meninggal dunia, itu adalah sebuah tamparan keras di era kepemimpinan Kapolri sekarang, Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo dengan programnya polisi presisi.
Salah satunya adalah dalam kebijakan visi dan misi menghadirkan Polisi yang professional. Langkah pengamanan seperti kemarin itu menunjukkan ketidakprofesionalan aparat kepolisian yang bertugas di tengah-tengah masyarakat. Oleh karenanya, tidak ada alasan untuk tidak dilakukan evaluasi menyeluruh. Termasuk rangkaian kekerasan secara berulang yang dilakukan oleh aparat kepolisian di wilayah hukum Sulawesi Tengah dalam penanganan aksi massa atau konflik di tengah-tengah masyarakat.
“ Selama ini kan selalu berujung kekerasan, represif, dan seterusnya. Makanya kepolisian wajib dievaluasi, “ tegasnya.
Untuk kepentingan memastikan kerja uji balistik, Komnas HAM meminta rentang waktu satu minggu. “Harus sudah ada hasil penyelidikannya yang didapatkan oleh kawan-kawan yang bekerja di Labfor forensik ini, “ ujarnya.
Langkah-langkah Komnas HAM selanjutnya, kata Dedi, adalah meminta hasil temuan itu dipublish, sehingga semua orang mengetahui siapa pelakunya. Berikutnya adalah, memproses pelaku penembakan itu.
“Jika kemarin pak Kapolda menginstruksikan apabila pola pengamanan massa aksi tidak sesuai prosedur diPTDH-kan, itu tidak harus berhenti sampai di situ. Yang bersangkutan harus digiring ke peradilan umum untuk dimintakan pertanggungjawaban pidana. Karena ini soal nyawa. Dan membunuh orang itu piudana. Ingat. Kepolisian itu tunduk dan patuh kepada undang-undang sipil. Terkait itu adalah di peradilan umum.
“Jadi selain PTDH, harus diproses hukum di peradilan umum, “ serunya.
Dedi menerangkan, selain memberi sanksi atau penghukuman yang tegas, khususnya terkait dengan PTDH, sesuatu yang luar biasa, anggota dicopot atau dipecat dengan tidak hormat. Untuk selanjutnya harus diproses hukum di peradilan umum.
“ Tidak boleh hanya terhadap pelaku penembakan saja, harus juga dimintai pertanggungjawaban satu tingkat di atasnya. Pimpinan lapangan, yang memberikan komando saat itu. Mau memberikan komando atau tidak memberikan komando. Paling tidak, ketika tidak adanya komando dia membiarkan. Pimpinan harus dimintai pertanggungjawaban soal itu, “ pungkasnya.(mch)