
SWAFOTO : Pasangan pengantin ini usai ijab kabul langsung melakukan swafoto di lokasi bekas tsunami yang menjadi ikon Kota Palu.
Detail tahapan pernikahan yang tadinya begitu ribet menjadi terlupakan dan lebih mengutamakan kesakralan. Inilah yang dialami pasangan pengantin baru, Muhamad Rizal Suleman dan Inne Chyntia asal Kelurahan Petobo, Kota Palu.
MURTALIB, Palu
ACARA pernikahan tetap dilangsungkan meski suasana masih di pengungsian pasca terjadinya gempa bumi 7,7 SR yang memporak-porandakan Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala.
Kamis (18/10) kemarin merupakan hari yang istimewa dan bakal dikenang pasangan Muhamad Rizal Suleman dan Inne Chyntia sepanjang kehidupan rumah tangganya.
Bukan untuk mencari kesenangan tapi untuk menyempurnakan agama. Hal ini membuktikan bahwa pernikahan bukan hanya acara pesta meriah tapi komitmen untuk bersatu dalam suka maupun duka serta dalam situasi bahagia maupun situasi dilanda bencana.
Menikah tanpa kehadiran keluarga besar membuat dua sejoli ini tetap tegar dan harus bangkit dari musibah. Meski banyak keluarga yang kehilangan rumah, harta bahkan nyawa sehingga harus mengungsi dan tidak dapat hadir bukan menjadi halangan. Bahkan untuk sejenak bendera putih tanda duka yang semula terpasang di lokasi pengungsian digantikan sementara dengan hiasan pernikahan.
Hal ini bukan untuk menunjukkan kebahagiaan pada orang lain tapi untuk menunjukkan bahwa sebagai orang yang terkena bencana kita tidak boleh terus larut dalam kesedihan dan harus bangkit.
Inne Chyntia yang merupakan anak pertama pasangan DR Muchtar Daeng Bella SP, SH, MM MH dan Wahida SP.MP asal Kelurahan Petobo, Kota Palu, kemarin (18/10) resmi dipersunting Muhamad Rizal Suleman yang juga anak pertama pasangan Drs Rasjid Suleman (Alm) dan Marthina Tahatjo S.Sos. Proses ijab khobul dilangsungkan di tempat pengungsian Jalan Zebra IV Palu Selatan.
”Sehari setelah musibah gempa, saya dan keluarga mengungsi di rumah keluarga di jalan Zebra. Tempat pengungsian inilah digunakan akad nikah. Manusia hanya bisa merencanakan tapi tuhanlah yang paling tahu,” jelas Muchtar Daeng Bella, Kamis kemarin (18/10).
Inne-demikian nama panggilan pengantin wanita tak kuasa menahan haru ketika bersungkeman dengan kedua orangtuanya. Dibandingkan raut kebahagiaan lebih terpancar kelegaan dan rasa syukur sebab masih diberikan kesempatan oleh Allah untuk hidup serta melangsungkan pernikahan.
Suasana akad nikah tetaplah sakral meskipun rencana awal untuk menikah di kediaman mempelai wanita yang terletak di petobo harus kandas menjadi pernikahan di tempat pengungsian.
Malam sebelum pernikahan seharusnya menjadi malam pengantin wanita menghabiskan waktu bersama keluarga dalam acara mapaci. Sayangnya takdir berkata lain, malam mapaci justru dilewati pengantin wanita dengan memasak konsumsi untuk para pengungsi lainnya.
Sementara untuk baju pengantin yang sudah dipilih sejak lama tidak dapat dipakai. Akhirnya baju pengantin yang digunakan ijab kabul (akad nikah) cukup sederhana dan simple.
Demikian pula yang digunakan pengantin pria juga sederhana menyesuaikan kondisi lingkungan yang terkena musibah. Bahkan saat ijab kabul tidak menggunakan pengeras suara dengan pertimbangan rasa kemanusiaan sesama pengungsi yang sama sama mendapat musibah.
”Sebenarnya ada dua baju adat yang akan kami gunakan saat ijab kabul dan duduk bersanding. Yakni bugis dan gorontalo. Tidak masalah dan tetap bersyukur kami masih diberi kesempatan bisa melaksanakan akad nikah meski dalam pengungsian,” kata Ical- panggilan akrab pengantin pria.
Masih kata Ical, undangan yang sudah dicetak belum sempat diedarkan. Sehingga banyak kolega dan teman-teman menunggu undangan.
Rencana ada lima rangkaian acara. Dimulai mapaci tanggal 17 dan hari ini (Kamis) akad nikah. Pada tanggal 19 rencara acara resepsi di Hotel Santika dari pihak mempelai wanita. Sedangkan pada Minggu (21/10) giliran mempelai pria membuat resepsi di hotel yang sama.
”Sudah banyak kolega dan teman teman kami bertanya undangan. Ada yang dari Jogja, Jakarta, Medan, Makassar hingga Manado. Demikian juga teman teman mempelai wanita banyak yang nunggu undangan. Insya Alloh kalo kondisi hotel sudah memungkinkan akan kami laksanakan. Soal waktunya masih direncanakan ulang,” tegas Ical dan diamini Inne.
Sebagai ungkapan rasa syukur dan memberikan motivasi warga Palu khususnya dan masyarakat Sulteng umumnya, sore kemarin usai melaksanakan ijab kabul, kedua pasangan ini melakukan swafoto di lokasi bekas tsunami yang menjadi ikon kota palu seperti, masjid terapung, patung kuda dan puing-puing jembatan Ponulele.
”Kami mohon maaf kepada kolega dan teman-teman belum bisa kasih undangan. Karena kondisilah acara akad nikah kami laksanakan sangat sederhana namun sakral,” demikian ungkap Muh Rizal Suleman.(*)