BERITA PILIHANDAERAHFEATURENASIONALNUSANTARAPALU KOTASULAWESISULTENG

Kisah Pak Ateng Lolos dari Keganasan Buaya Muara di Palu

JANGAN MAIN-MAIN DENGAN BUAYA : Pesan Ateng dalam podcast show Radar Sulteng, Sabtu (5/2). (TASWIN)
Dilihat

SELAIN menyisakan luka fisik, tiga jari tangan kanannya yang sulit digerakan, juga meninggalkan trauma mendalam bagi Ateng. Ia kini tak berani berlama-lama berendam di laut. Sembilan hari dirawat di Rumah Sakit dan sebelas bulan ia tidak dapat beraktivitas seperti biasa menjadi pelajaran berharga baginya. Ateng berpesan, agar masyarakat tidak bermain-main dengan buaya, yang merupakan predator ganas penghuni Sungai Palu tersebut.

LAPORAN : Syahril/Talise

Ateng masih ingat betul peristiwa di pagi itu. Saat seekor buaya sungai Palu menyeretnya ke tengah laut sejauh 30an meter dari bibir pantai. Gigitan buaya berhasil membuat tangan kanan robek, plus 9 hari mendekam di Rumah Sakit. Itu sebuah peristiwa naas yang sulit terhapus dari memory ingatan Ateng.
“Ngeri,” ucapnya sembari mengingat peristiwa yang terjadi pada Desember 2020 yang lalu di pantai Talise Palu.
Saat itu, ia mengaku sedang berendam di laut. Namun, sekitar 20 menit kemudian, saat tengah menikmati hangatnya air laut pagi hari. Ia tidak menyadari, tepat dihadapannya, sudah ada seekor buaya yang sedang bersiaga. Dengan cepat, buaya itupun menyergap tangan kanannya. Tidak butuh waktu lama, buaya itu sudah membawa tubuhnya ke dalam laut.
“Saya ditarik itu ke tengah. Awalnya belum terasa (cengkraman buaya), saya lawan, kitakan masukan tangan di mulutnya, melawan itu buaya, dia berputar, makanya sampai putus,” katanya.
Dalam pergulatan hebat, antara hidup dan mati dengan buaya sungai Palu itu, ia sempat berpasrah kepada Tuhan. Ia mengatakan, bahwa keajaiban sang pencipta yang membuatnya lepas dari rahang buaya. Dengan kondisi tangan yang sudah mengalami luka hebat, di dalam hati, ia lalu berdoa.
“Saya mengucapkan dulu itu, Ya Allah kalau memang nyawaku itu kau ambil, ambil Ya Allah, saya tidak punya kekuatan apa-apa selain Allah. Lalu saya buka mulutnya, langsung terbuka mulutnya, langsung saya meluncur ke atas (permukaan laut),” ucapnya dengan nada suara mengecil seperti sedang tercekik, lantaran menahan air mata agar tak tumpah.
Usai lepas dari gigitan buaya, ia meminta tolong kepada dua orang mahasiswa yang saat itu berada di sekitar kejadian dengan mengangkat tangan ke atas. Dua orang mahasiswa yang diketahui berasal dari Universitas Tadulako (Untad) itulah yang membantunya keluar dari dalam laut.
Selain kedua mahasiswa tersebut, bu Emil, disebut Ateng juga merupakan orang yang sangat berjasa bagi dia. Bu Emil lah yang telah membawanya ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Undata Palu sehingga nyawanya dapat tertolong.
Tidak hanya satu, Ateng mengaku ada beberapa buaya lain yang ia lihat saat itu, namun hanya satu yang menyerangnya. Lokasi tempat Ateng berendam waktu itu, persisnya hanya sepelemparan batu dari tugu patung kuda, yang merupakan salah satu ikon Kota Palu.
Ia sama sekali tidak mengetahui, bahwa wilayah itu telah dipasangi papan imbauan berhati-hati dalam beraktivitas, lantaran lokasinya menjadi kawasan habitat buaya, satwa berbahaya namun dilindungi. “Disitu ada orang mandi, jadinya saya ikut mandi,” terangnya.
Bukan tanpa alasan, Ateng yang saat ini berprofesi sebagai pedagang mainan serta agen penjualan tiket itu menyebut, mandi di laut ia lakukan sebagai terapi mengurangi rasa nyeri akibat didera penyakit asam urat menahun yang dialaminya.
Namun sebelum hari itu, ia biasanya menghabiskan waktu berendam di wilayah kampung nelayan. Entah apa sebab, ia memilih mandi di lokasi pantai Talise Palu, yang kemudian membuatnya diserang buaya dan terpaksa harus dilarikan ke Rumah Sakit.
Akibat serangan buaya tersebut, hampir sebelas bulan ia tidak dapat beraktivitas seperti biasa. Tiga jarinya, kelingking, manis dan jari tengah sulit digerakkan dengan aktivitas berat. Namun, berkat serangkaian operasi yang dilakukan tim dokter, serta bantuan kemanusiaan dari para dermawan kondisinya sekarang sudah membaik.
“Terimakasih kepada dokter yang sudah mengoperasi serta pihak RS yang sudah merawat saya, kita berterimaksih betul, dan ada sejumlah donatur yang membantu saya,” ucapnya.
Kejadiaan naas itu urai Ateng, masih menyisakan trauma mendalam baginya. Beberapa waktu lalu, ia pernah mencoba kembali berendam di laut, namun dua menit setelahnya, dirinya langsung berlari keluar dari laut. Bayang-bayang sang predator ganas itu, rupanya berubah menjadi momok bagi Ateng.
“Dua puluh hari saya pulang ke rumah (dari RS) itu masih trauma, badan panas, jangan-jangan (buaya) ada di belakang kita,” terangnya.
Setahun lebih pasca kejadian itu, dalam wawancaranya di Podcast Show Radar Sulteng, Sabtu (5/2) lalu, ia mengaku sudah kembali bekerja seperti sedia kala. Bahkan saat bertandang ke Graha Pena Radar Sulteng jalan Yos Sudarso, bersama anaknya siang itu, ia sendiri yang mengemudikan sepeda motor.
Di kesempatan itu, dirinya juga berpesan kepada seluruh masyarakat, agar tidak bermain-main dengan buaya, karena buaya merupakan binatang yang berbahaya dan kerap menyerang manusia. “Jangan bermain-main pak dengan buaya, cukup saya saja jadi (jadi korban). Nanti kalau sudah kena (gigitan buaya) baru nanti (menyesal),” tutupnya.(**)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.