POSO – Petani Desa Meko, Kecamatan Pamona Barat dipaksa mengalah dengan keadaan. Keadaan yang disebut sengaja dibuat hingga warga kesulitan melanjutkan tradisi bertani.
Sejak akhir 2019, petak-petak sawah di dekat bibir Danau Poso tak bisa lagi ditanami padi. Sawah seluas 96 hektar yang jadi sumber pengharapan 71 Kepala Keluarga (KK), terendam air. Bukan karena bencana banjir ataupun proses alamiah.
Kondisi ini diduga kuat terjadi sejak adanya bendung-bendung milik Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang ada di aliran sungai Poso. Aliran sungai yang bersumber dari Danau Poso ditolak kembali masuk ke danau ketiga terbesar di Indonesia itu.
Hal itu lah yang membuat luapan Danau Poso menggenangi sawah-sawah milik warga di dekat bibir Danau Poso. Petani Desa Meko, I Made Sadiah yang sawahnya tergenang hampir 3 tahun itu, kini hidup dalam keadaan pas-pasan. Dari yang dahulu memiliki sawah seluas 3 hektar, kini berubah menjadi buruh tani di sawah orang lain.
“Sekarang jadi buruh tani, sehari cuma dapat Rp80ribu. Untuk menghidupi anak istri, yah dicukup-cukupi,” tutur Made.
Anak keduanya sempat putus kuliah, karena kondisi ekonomi yang terpuruk usai tak bisa lagi mengolah sawah. Dahulu, saat sawahnya masih menghasilkan, dia masih mampu menguliahkan anaknya dan memenuhi segala kebutuhan keluarga. “Dulu Setahun dua kali panen. Hasilnya dari 3 hektar sawah saya itu terendah yang bisa kami dapat 5 ton smpai 6 ton beras sekali panen” ungkapnya.
Namun kini, jika dipaksakan sawah yang tergenang itu, hanya bisa menghasilkan 20 karung gabah atau sebanyak 50 kilogram beras perkarung gabahnya. Hal itu sama sekali tidak menutupi biaya produksi. “Sebelum sawah terendam, saya sempat meminjam uang untuk produksi, berharap saat panen bisa dilunasi. Namun ternyata sawah yang diharap bisa menghasilkan malah terendam air dan mengakibatkan tidak bisa panen,” sesalnya.
Sementara ongkos produksi belum juga dilunasi. Bermodal kepercayaan dari toko keperluan produksi padi, utang Made bisa ditangguhkan. Made bersama dengan petani lainnya, terus melakukan upaya agar pihak perusahaan yang mengelola PLTA, bisa membayarkan kompensasi dari sawah yang terdampak proyek pembangunan bendungan di aliran sungai.
Perjuangannya berbuah hasil. Dia mendapat kompensasi dari perusahaan, sehingga bisa membayar utang, walaupun belum lunas. Dia mendapat kompensasi dari dampak naiknya air Danau Poso selama 3 tahun itu senilai Rp108 juta.
“Masih ada Rp 13 juta utang saya yang belum terbayarkan,” terangnya.
Dia mengaku terpaksa menerima kompensasi yang diberikan perusahaan. Meski apa yang dibayarkan perusahaan tidak sebanding dengan apa yang didapatkan jika tanaman padinya dapat dipanen.
“Harga beras yang kami produksi bisa Rp10 ribu perkilogram, tinggal dikalikan 5 ton saja sekali panen,” sebutnya.
Kondisi yang dirasakan Made, hampir serupa dengan yang dialami Margareta. Ibu tiga anak ini, semenjak sawah miliknya terendam telah beralih kerja sebagai pemecah batu. Usia yang lebih dari setengah abad, tidak menyurutkan semangatnya mencari penghasilan lain. “Dulu saya mengolah sawah, sejak sawah saya terendam, sudah jadi pemecah batu dan pinjam kebun orang,” katanya.
Itu dilakoni, agar dapur bisa tetap berasap. Meski salah seorang anaknya harus putus kuliah, karena tidak mampu lagi dibiayai. “Anak saya yang kedua dulu dia kuliah pelayaran di Jakarta. Terpaksa berhenti, karena kami sudah tidak mampu membiayai karena sawah yang sudah tidak bisa diolah,” jelasnya.
Sama halnya dengan Made, Margareta juga sudah menerima kompensasi diberikan perusahaan atas sawahnya. Meski memang secara berat hati diterima, karena tidak sesuai dengan apa yang semestinya didapatkan bila sawah tetap berproduksi.
“Bisa dibilang saya sekarang yang jadi tulang punggung keluarga, karena suami saya sakit. Namun anak saya terakhir masih bisa menempuh pendidikan di SMA dan saya biayai dengan uang kompensasi ,” tutupnya.
Kepala Desa (Kades) Meko, I Gede Sukaartana membenarkan, jika kondisi petani di wilayahnya memang kian terdesak. Tidak hanya dari ancaman air danau yang pasang, tapi juga dari zona cagar alam serta rencana garis sempadan danau. “Kami tidak tahu tiba-tiba sebagian desa kami masuk cagar alam. Ada sekitar 329 hektar kebun warga tiba-tiba masuk cagar alam,” terang Kades.
Lokasi Cagar Alam pun diketahui baru setelah dirinya dan warga lain hendak mengurus sertifikat lahan. Ternyata lahan perkebunan milik warga sudah masuk Cagar Alam. “Ini yang kami tidak ketahui prosesnya, sejak kapan jadi cagar alam? Setelah kami tahu barulah pihak BKSDA sampaikan tidak bisa berkebun di wilayah cagar alam, sementara kami berkebun itu sudah sejak lama,” tutur Gede.
Dia menyebut, ada sekitar 200 kepala keluarga yang memiliki lahan kebun yang masuk dalam Cagar Alam tersebut. Penduduk Desa Meko, hampir 95 persen berprofesi sebagai petani. Jika bertani padi sudah sulit lantaran tergenangnya sawah, berkebun pun juga terbatas oleh lokasi cagar alam.
Selaku Kades, Gede sudah pernah berupaya bertemu pihak BKSDA yang berkantor di Poso. Dia meminta kejelasan terkait surat keputusan atau dasar hukum sehingga wilayahnya dijadikan Cagar Alam. “Tapi cuma dibilang ada, tapi tidak diperlihatkan. Ini kan kami anggap jadi akal-akalan saja. Harusnya dari dulu disosialisasikan ke masyarakat. Kita tahu cagar alam kan waktu mau membuka lahan, kalau tidak, sampai sekarang kita tidak tahu,” sebutnya.
Ancaman terhadap kelangsungan hidup petani juga kembali datang. Ketika tim dari Balai Wilayah Sungai Sulawesi (BWSS) III datang ke kampung Meko dan mengukur wilayah yang rencananya bakal dijadikan sempadan danau. Artinya sebagian lahan pertanian warga yang sudah tergenang itu, juga tidak bisa diolah lagi jika sudah resmi masuk sebagai sempadan danau.
Oleh BWSS III, dijelaskan bahwa 100 meter lahan warga dari air ketika pasang jika sudah masuk sempadan danau, tidak bisa lagi diolah. Sementara air pasang saat ini sudah sangat dekat dengan pemukiman warga.
Jika itu ditetapkan, Gede memastikan bakal sempit wilayah masyarakat untuk bertani. Dan dampaknya, kemiskinan akan terjadi di desanya. Sebab, tingkat pendidikan warganya belum banyak yang sampai perguruan tinggi, dan masih mengandalkan bertani sebagai pekerjaan.
“Kalau sudah begini, saya prediksi 5 sampai 10 tahun ke depan anak-anak kita sudah tidak ada lagi yang akan bertani. Malah warga saya bisa-bisa jadi pencuri dan perampok kalau mereka tidak bisa bertani dan terhimpit kebutuhan, akibat hilangnya lahan untuk digarap” ungkap Kades.
Baik penetapan cagar alam maupun rencana sempadan danau, disinyalir masyarakat erat kaitannya dengan pembangunan PLTA. Karena, hal itu diketahui masyarakat terjadi ketika proyek PLTA telah beroperasi dan sawah-sawah warga terendam. “Ini lah yang kami sebut ada proses pemiskinan yang dilakukan terhadap kami,” tegas Gede.
Tanda-tanda itu mulai terlihat saat ini. Di mana banyak anak-anak Desa Meko putus sekolah. Ini disebabkan orang tua mereka yang mengandalkan pertanian sebagai mata pencarian, sudah tidak bisa lagi mengolah sawah-sawah miliknya. Belum lagi lilitan utang kepada bank maupun pihak lain yang dipinjam ketika musim tanam pada 2019 silam.
“Namun hasil panen yang diharapkan sirna karena sawah mereka yang sudah terendam hingga saat ini,” katanya.
Dari data terpadu kesejahtetaan sosial (DTKS) tercatat ada sekitar 450 KK tergolong sebagai petani tidak mampu. Kondisi terbatasnya lahan pertanian ini, membuat Gede khawatir anak cucunya kelak tidak bisa bertani lagi. Di Desa Meko sendiri, dalam setahun ada sekitar 50 kelahiran.
“Nanti jumlah warga tidak berbanding lurus dengan luas lahan pertanian, sehingga ke depan anak-anak cucu kita ketika selesai sekolah langsung pergi meninggalkan kampung dan tidak bertani lagi,” papar Kades memprediksi.
Sebagai Kades, dirinya berupaya agar beban warganya akibat tergenangnya sawah itu sedikit berkurang. Salah satu upaya dengan bermohon kepada sejumlah bank untuk menangguhkan utang para petani. Juga turut memperjuangkan kompensasi dari perusahaan kepada para pemilik sawah. “Walau yang diterima tidak sebanding dengan kerugian,” katanya.
Kompensasi sendiri yang diterima warga, hanya dihitung dari akhir 2019 sampai 2021 saja. Sedangkan untuk jangka panjang, dirinya dan kelompok perjuangan masyarakat yang terdampak terkait hadirnya PLTA, sudah meminta agar perusahaan memberikan kompensasi per 10 tahun. “Agar apa yang diterima masyarakat bisa terlihat banyak dan bisa benar-benar bermanfaat,” sebutnya.
Namun, kata dia, jika sempadan danau jadi disahkan, pihaknya khawatir, tanggungjawab dari perusahaan akan berakhir pula. Karena lahan yang masuk sempadan danau sudah tidak terhitung lahan pribadi. “Dan yang lebih kami khawatirkan lagi bisa-bisa pemukiman kami juga diambil alih dengan kepentingan sempadan danau, namun ada maksud lain di balik itu,” tandas Kades. (agg)