
Saat konflik horisontal pecah di Kota Poso dan meluas ke daerah sekitarnya pada Mei Tahun 2000, membuat masyarakat di Lembah Bada siaga penuh. Bukan bersiap untuk menyerang penduduk minoritas. Tapi justru saling menenangkan dan memberikan jaminan keselamatan.
LAPORAN: Nur Soima Ulfa
MASIH kuatnya adat dalam mengatur sendi, terbukti ampuh menghadirkan ketentraman dan perdamaian di tengah masyarakat di Lembah Bada. Ancaman ketertiban dapat ditangkal dan dicegah sedini mungkin agar tidak terjadi. Mulai dari contoh kecil ancaman ketentraman dalam keseharian seperti perkelahian antara okunum pemuda desa hingga ancaman konflik berbau SARA.
Ya, harmonisasi beragama di Lembah Bada memang mendapat ujian berat saat konflik horizontal di Kota Poso dan daerah sekitarnya di Kabupaten Poso meletus pada bulan Mei Tahun 2000. Kala itu, guncangan konflik juga dirasakan hingga ke Lembah Bada. Apalagi Kota Tentena saat itu menjadi lokasi pengungsian besar-besaran bagi penduduk beragama Kristen yang keluar dari Kota Poso untuk mencari keselamatan.
Ketua Pengurus Wilayah Majelis Adat Tampo Bada (MATB), Gawie Wengkau, bersaksi saat kerusuhan pecah, (alm) Ketua MATB sebelumnya yang bernama Teda’I Toia langsung memerintahkan para Ketua Adat di tingkat desa maupun pengurus Adat wilayah Tampo Bada berkumpul.
Saat itu kenangnya, pria sepuh yang akrab disapa dengan nama Uve Toia itu langsung memerintahkan seluruh ketua adat untuk berangkat ke jalur-jalur pintu masuk ke Lembah Bada yang berada di wilayah Kabupaten Poso. Seperti di jalur Tonusu-Bomba, jalur Toare-Gimpu dan jalur Lelio-Doda. Tiga jalur itu diperintahkan untuk diamankan.
“Artinya, jangan sampai masuk itu wabah (kerusuhan, red). Saya katakan wabah karena jangan sampai itu mengganggu (ketentraman),” ungkap Gawie.
Pengamanan yang dimaksud berupa pembuatan portal. Di portal itu lantas ditugasi beberapa orang untuk berjaga. Setiap orang yang masuk dan keluar Lembah Bada dari ketiga jalur tersebut akan diperiksa dengan ketat. Utamanya bagi orang asing. Harapannya, tidak ada pengacau yang bisa masuk ke Lembah Bada dan memicu kerusuhan layaknya terjadi di Kota Poso.
Selain pengaman di tapal batas, Gawie menambahkan Ketua maupun pengurus adat juga kerap melakukan pertemuan dengan unsur pemerintah desa dan kecamatan serta para tokoh agama. Almarhum Ketua MATB, Toiya dikenal sebagai salah satu orang yang pertama kali mengeluarkan perintah jaminan perlindungan dan keselamatan bagi setiap keluarga muslim yang ada di Lembah Bada.
“Dibilang tak usah pergi. Kalau mati di sini, mati sama-sama kita. Kenapa mau lari? Mau lari ke mana lagi. Tapi sempat ada yang pergi (keluarga muslim) tapi menyesal sendiri, karena tidak ada kerusuhan di sini,” ujar Gawie.
Dilontarkannya janji jaminan keselamatan dan perlindungan bagi muslim di Lembah Bada, bukan tanpa alasan. Penganut Islam di Lembah Bada terhitung minoritas.
Berdasarkan data terkini yang dimiliki oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Lore Selatan hanya ada 186 jiwa penganut agama Islam di Lembah Bada. Jumlah itu sudah mencakup 14 desa yang tersebar di dua kecamatan yang ada di Lembah Bada. Berbeda dengan penganut Kristen yang mencapai 8.689 jiwa. Sisanya adalah Katolik sebanyak 68 jiwa dan dan 2 penganut Hindu.
Jumlah keluarga muslim tersebut boleh jadi jauh lebih kecil saat kerusuhan berlangsung. Sebab meskipun ada jaminan keselamatan dan perlindungan, fakta adanya keluarga muslim yang keluar dari Lembah Bada selama kerusuhan Poso berlangsung, tidak bisa diabaikan.
Mantan Kepala Kantor Urusan Agama Lore Selatan, Simaman Cika bersaksi tidak sedikit keluarga muslim yang keluar dari Lembah Bada. Mereka umumnya meninggalkan rumah mereka menuju ke Kota Palu atau ke Kebupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan. Ada dua lajur yang ditempuh berjalan kaki melewati hutan dan gunung selama berhari-hari, yakni jalur Toare ke Gimpu (menuju Palu) dan jalur Badangkaia ke Rampi (menuju Luwu Utara).
“Sebenarnya tidak ada kerusuhan di sini (Lembah Bada, red). Hanya saja kami di sini kena imbasnya. Waktu itu sudah 70 pengungsi masuk Tentena. Itulah juga yang ikut mempengaruhi,” ungkap Cika, yang akrab disapa Papa Rahmah ini.
Kedatangan gelombang pengungsi ke Tentena, jelas Cika, membawa kekhawatiran bagi keluarga muslim di Lembah Bada. Pasalnya, saat kerusuhan terjadi ada pola saling balas membalas antara dua komunitas yang bertikai. Keluarga muslim takut jika menjadi sasaran balas dendam. Sebab menurut Cika, tidak sedikit orang Bada yang telah merantau ke luar Bada dan menetap di sekitaran Kota Poso. Mereka ini menjadi korban kerusuhan dan memilih kembali ke Lembah Bada melalui Tentena.
Jarak Tentena yang terpisah 60 kilometer, turut membuat Lembah Bada rentan terjangkit “virus” kerusuhan. Olehnya, Cika mengungkapkan unsur pemerintah seperti Camat, Koramil, Kapolsek, Ketua Majelis Adat Tampo Bada, serta para tokoh agama intens melakukan pertemuan saat kerusuhan terjadi. Dia kerap diundang pertemuan sebagai tokoh dan wakil umat Islam Bada. Tujuannya satu, bagaimana membendung agar kerusuhan tidak sampai masuk ke Lembah Bada.
“Sama sekali tidak ada pembakaran rumah atau pembunuhan keluarga muslim di Lembah Bada sampai detik ini. Tidak ada sama sekali. Hanya saja, waktu itu kita ini di sini jadi korban cerita-cerita orang di luar, bagaimana ngerinya di sana. Jadi inilah yang buat mereka itu keluar,” terangnya.
Pria yang berasal dari Luwu Utara ini, menegaskan dirinya menjadi salah satu muslim yang bertahan di Lembah Bada saat kerusuhan Poso terjadi. Dia mengaku tidak ingat berapa jumlah muslim yang bertahan dan yang pergi. Tetapi dia yakin tidak banyak keluarga muslim di Desa Bewa dan Desa Kolori yang keluar. Di dua desa ini, jumlah keluarga muslim memang terbanyak dari desa lain. Seingatnya, keluarga muslim yang keluar Lembah Bada berasal dari desa lain di Lembah Bada, yang memang hanya ada satu dua kepala keluarga saja.
Cika mengungkapkan umat Kristen di Lembah Bada tidak hanya memberikan jaminan perlindungan dan keselamatan, tapi juga tindakan. Pernah saat Ramadan di tahun konflik itu, dia kaget mendapati beberapa tetangganya yang beragama Kristen mendatangi rumahnya saat hendak santap sahur.
Dia kemudian bertanya apa gerangan dan mendapati jawaban yang mengejutkan. “Mereka bilang, Papa Rahmah sahur saja dengan tenang. Kami jaga di sini,” saksi Cika. Dia pun menyebutkan kehadiran tetangganya itu atas permintaan (alm) Ketua MATB, Teda’I Toia Toia agar ada warga yang tetap menjaga rumah keluarga muslim selama menjalani ibadah puasa.(bersambung)