OPINI

Jangan Minta, Kecuali Terpaksa

H. Sofyan Arsad (FOTO : ISTIMEWA)
Dilihat

TANGAN saya ikut gatal usai membaca postingan kawan Efendi Kindangen di beranda fb-nya. Begitu digaruk, ketemu tulisan lawas saya (Oktober 2019) bertajuk “Ambisi Mengejar Jabatan”.

Diawali status fb kawan lama SMA di Silae. “Jabatan itu bkn dicari apalagi dikejar. Krn jabatan itu bkn maling” tulisnya.

Ternyata, celoteh ringan itu telah disindir oleh baginda Nabi. Rasulullah pernah menasehati Abdurrahman bin Samurah. “Wahai Abdurrahman bin Samurah janganlah engkau kasak-kusuk mencari jabatan karena bila engkau memperoleh jabatan tanpa kasak-kusuk, engkau akan dibantu Tuhan. Allah akan menurunkan malaikat mendukung langkahmu. Tetapi jika kamu diberi jabatan karena meminta atau kasak-kusuk maka beban jabatan itu diserahkan sepenuhnya kepadamu untuk memikulnya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Hadis lain lebih tegas lagi. “Demi Allah kami tidak mengangkat sebagai pejabat mereka yang kasak-kusuk meminta jabatan.”

Kebanyakan orang belum memahami apa hakikat sebuah jabatan. Juga bagaimana pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Dalam salah satu hadisnya Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya kamu sekalian akan berambisi untuk dapat memegang suatu jabatan tetapi nanti pada hari kiamat jabatan itu menjadi sebuah penyesalan. (H.R Bukhari).

Kata penyesalan dalam hadis tersebut perlu diberi cetak tebal. Wabil khusus bagi yang belum menjabat atau lagi mengincar promosi jabatan. Jangan sekali-kali berambisi mengejar jabatan. Apalagi sampai terlibat praktik jual-beli jabatan.

Islam memberikan tuntunan, jabatan itu tidak perlu diminta kecuali jika di tempat itu benar-benar tidak ada orang yang dinilai sanggup memikulnya. ini pernah dipraktekkan Nabi Yusuf as. Beliau terang-terangan meminta Raja Mesir mengangkat dirinya sebagai bendaharawan negara.

Dalam rangkaian surah Yusuf ayat 54-56 dikisahkan suatu ketika Mesir ditimpa bahaya kelaparan. Sudah tujuh tahun negeri itu dilanda kemarau. Raja Mesir sulit mencari pejabat yang pantas untuk dipromosikan. Atas saran seseorang, raja Mesir memanggil Yusuf untuk di fit and propertest. Dengan penuh keyakinan, Yusuf berkata: “Jadikanlah aku bendahawaran negara sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.”

Apa yang dilakukan Yusuf adalah sebuah “keterpaksaan”. Ia terpaksa meminta jabatan karena dua hal: Pertama Yusuf prihatin dengan kondisi negara. Ia berniat menyelamatkan negeri itu dari bahaya kelaparan. Kedua Yusuf menilai dirinya cukup kapabel serta ahli di bidang keuangan dan perbendaharaan. Terpenting dari itu semua Yusuf juga tahu bagaimana menjaga amanah.

Yang terjadi sekarang justru sebaliknya. Mereka yang “tidak mampu dan amanah” memaksakan diri kasak-kusuk mengejar jabatan.

Dalam shahih muslim dikisahkan suatu ketika Abu Dzar berkata kepada Nabi, Wahai Rasul hendaklah engkau memberiku jabatan! Rasulullah lalu menepuk punggung Abu Dzar seraya berkata: “Wahai Abu Dzarr sesungguhnya engkau itu lemah dan sungguh jabatan itu adalah amanah dan jabatan itu pada hari kiamat hanyalah kehinaan dan penyesalan kecuali bagi orang yang mengambilnya secara benar dan melaksanakannya dengan sebaik-baiknya”.
Inilah bukti kecintaan Nabi kepada sahabatnya. Beliau tidak rela jika Abu Dzar menyesal di kemudian hari.

Apa yang dilakukan Nabi, berbeda 180 derajat dengan yang kebanyakan kita saksikan. Kita suka mendorong seseorang mencalonkan diri untuk suatu jabatan. Padahal sebagai keluarga atau sahabat kita sebetulnya tahu dia memiliki banyak kelemahan. Kita sering mendengar ada orang yang hoby “bapatende” (sanjung berlebihan). Padahal ia punya maksud terselubung. Tragisnya, orang yang di “patende” terkadang jadi lupa diri. Ia pun bersemangat ’45 untuk berebut jabatan. Meski dengan menghalalkan segala cara.

Bila kita “bapatende” karena motif lain (bukan karena kompetensi ybs), maka sama halnya kita telah menjerumuskan saudara atau kawan sendiri. Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang mengangkat seseorang (untuk suatu jabatan) karena semata-mata hubungan kekerabatan dan kedekatan sementara masih ada orang yang lebih tepat dan ahli daripadanya maka sesungguhnya dia telah melakukan pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman” (H.R. al-Hakim).

Mencari pejabat atau pemimpin sempurna bukan pekerjaan mudah. Namun jika harus memilih, pilihlah yang paling sedikit kekurangannya. Lakukan itu setelah kita berupaya sungguh-sungguh mencari yang terbaik. Imam Ahmad Ibnu Hanbal pernah mengalami dilema. Ia bingung memilih satu di antara dua orang yang dicalonkan menjadi pimpinan pasukan. Keduanya punya nilai plus dan minus. Calon pertama sosok kuat dan disegani. Tetapi dia bergelimang dosa. Calon kedua sebaliknya. Taat beragama, tetapi dia lemah dan tidak berwibawa.

Namun Imam Ahmad punya pertimbangan jitu. Calon pertama, benar dia bergelimang dosa. Tapi di akhirat nanti dosanya dipikulnya sendiri. Sedangkan kekuatan yang dimiliki, bermanfaat untuk mendukung kepentingan umat.

Berbeda dengan calon kedua. Taat beragama, tetapi pahalanya hanya berguna bagi dirinya sendiri. Kelemahannya dalam memimpin justru akan menjadi malapetaka bagi umat yang dipimpinnya. Pilih mana?. Wallahu ‘alam.

*) Penulis ASN di Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Tengah.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.