BEBERAPA hari sebelumnya Fakultas Agama Islam Universitas Alkhairaat Palu menyelenggarakan Pelatihan Literasi Keagamaan Lintas Budaya tingkat Internasional. Kegiatan ini terselenggara sebagai bentuk implementasi kerjasama Pengurus Besar Alkhairaat, Universitas Alkhairaat, dan Institut Leimana. Kegiatan ini dikemas dalam bentuk Pelatihan Peningkatan Kapasitas Guru Madrasah dan Pondok Pesantren dalam masalah Literasi Keagamaan Lintas Budaya. Mengapa diadakan kegiatan ini?
Selain sebagai hasil kerjasama, tetapi ada beberapa sudut pandang yang dapat dijadikan dasar dan landasan pelaksanaannya, yakni,
pertama, Literasi Keagamaan Lintas Budaya dianggap sebagai sebuah model dan jenis pendekatan berpikir, bertindak, dan bersikap untuk dapat bekerjasama lintas agama. Perbedaan agama kadang menjadi masalah dalam pembangunan hubungan antar sesame umat. Misalnya kelompok-kelompok ekstrimis yang melihat orang yang berbeda agama adalah lawan. Pandangan ini bisa memicu ketidakharmonisan hubungan lintas agama. Tentu kalau ini dikaitkan dengan kehidupan umat beragama di Indonesia sangat perlu berhati-hati.
Bentuk pelaksanaan literasi keagamaan ini bersifat kolaboratif. Maksudnya sharing materi dan budaya lintas agama kepada penganut antar agama, sehingga dengan informasi yang diterimanya bisa menjadi bekal bersikap dan bertingkah laku secara harmoni walaupun agama yang berbeda.
Di Indonesia saat ini yang mengkhawatirkan adanya isu-isu intoleransi, radikalisme, terorisme, dan sikap antipati terhadap perbedaan; mungkin karena kebebasan berekspresi melalui media sosial begitu terbuka bebas, setiap orang kapan dan dimana saja boleh menyampaikan pendapat dan gagasannya terhadap setiap problem tanpa selektif dan hati-hati.
Pada saat yang sama, seluruh pengguna jasa media elektronik dapat mengakses dengan bebas pula. Untuk itu, langkah antisipasi agar kekhawatiran terhadap kerapuhan hidup antar sesama umat beragama tetap utuh dan kokoh, maka kegiatan pelatihan penguatan pemahaman terhadap pluralism, keragaman agama, dan budaya menjadi penangkal akan lahirnya sikap intoleransi.
Kedua, pencapaian hidup yang baik dalam keragaman agama dan budaya telah disadari bukan karena semata-mata keragaman dan perbedaan kepercayaan agama itu ditolak untuk dilebur menjadi satu, akan tetapi bagaimana ketika keragaman dan perbedaan itu diteguhkan dan dikelola bersama oleh penganut antar agama melalui proses evaluasi, komunikasi, negosiasi, edukasi pemahaman yang benar terhadap nilai ajaran agama masing-masing kepada penganutnya, yang semuanya dalam rangka menghadapi dan menanggapi berbagai problematika kehidupan umat beragama, peluang dan tantangan yang terjadi dalam konteks lokal maupun global pada akhirnya akan dapat diikuti oleh setiap penganut agama sehingga melahirkan sikap dan perilaku adaptif terhadap setiap peristiwa.
Ketiga, keragaman dan perbedaan dipandang sebagai sebuah kekayaan dan khasanah yang dapat membawa kebaikan bersama. Keragaman, kebhinekaan atau pluralitas harus diakui bila dikelola dengan baik akan menjadi suatu kekayaan yang tentunya berdampak sosial, ekonomis, toleransi, dan sebagainya. Inilah harapan dibalik semboyan bangsa Indonesia “Bhineka Tunggal Ika”. Keanekaragaman suku, agama, bahasa, budaya dan adat, merupakan asset bangsa yang tetap kokoh dalam bingkai Keindonesiaan.
Keempat, mengutip apa yang disampaikan Direktur Utama Institut Leimana bahwa kegiatan ini juga didasarkan atas ragam masalah yang terjadi dalam hidup bermasyarakat dimana penganut agama masih banyak yang belum mampu mengkomunikasikan nilai ajaran agama yang dianut untuk hidup yang lebih baik dalam keragaman agama dan budaya tersebut. Kemampuan mengkampanyekan nilai sosial agama dalam kehidupan yang plural masih sangat terbatas.
Akibatnya nilai keragaman agama yang seharusnya bisa memberi dampak positif kebaikan hidup sesama umat beragama justru menjadi sesuatu yang menakutkan. Sejalan dengan pandangan tersebut salah seorang pemerhati masalah-masalah sosial yang juga akademisi Kasman Jaya Saad menekankan bahwa “literasi” bukan hanya soal baca dan menulis, namun lebih dari itu bagaimana mengimplementasikan yang dibaca dan ditulis untuk hidup yang lebih bermakna.
Dalam kajian Islam, masalah keragaman dan perbedaan telah tercermin pada ayat 13 Surah al-Hujurat. Adanya lakilaki dan perempuan, bangsa-bangsa, suku-suku, tujuannya agar terjalin hubungan saling kenal mengenal.
Keragaman dimaksud sebagai pengenal identitas untuk diketahui oleh yang berbeda pula. Keragaman dan perbedaan termasuk bagian dari sunnatullah dalam penciptaan. Jadi penegasan konsep keragaman tujuannya adalah agar saling kenal mengenal dan dari pengenalan tersebut terkandung makna penguatan kebersamaan dalam keragaman dan perbedaan. Bukan untuk saling benci atau menghujat, akan tetapi terselip nilai humanis, sosial, dan persatuan serta persaudaraan.
Ayat 48 Surah al-Maidah menjelaskan bahwa sekiranya Allah swt, Tuhan Yang Maha Kuasa menghendaki seluruh umat manusia ini jadi umat yang satu: jenis, bangsa, suku, warna, bahasa, adat istiadat. Tidaklah sulit bagi-Nya. Namun diciptakannya keragaman dan perbedaan itu tidaklah semata-mata untuk saling kenal mengenal seperti tergambar penjelasan di atas, akan tetapi setiap diantara kita diajak berusaha semaksimal mungkin dengan daya dan kemampuannya berlomba dalam hal membuat segala bentuk kebaikan yang bermanfaat bagi sesame makhluk hidup (fastabiqul khairaat). Keragaman agama dan lainnya merupakan ujian dan cobaan untuk menilai siapa yang terbaik melaksanakan amalan kebaikan selama hidup di dunia ini.
Literasi keagamaan lintas budaya yang telah terselenggara bukan sekedar bagaimana umat bisa membaca, menulis, mengoleksi sumber-sumber bacan, akan tetapi bagaimana kemampuan menyebar luaskan gagasan aplikatif humanis dari keragaman agama yang ada menjadi sesuatu yang memberi pengaruh bagi keharmonisan hubungan antar umat beragama. Walaupun harus digaris bawahi bahwa hal-hal yang prinsipil menyangkut masalah keyakinan setiap penganut agama bukanlah hal yang harus dipaksakan kepada selain penganutnya, akan tetapi nilai-nilai ajaran agama yang berkaitan dengan kemanusiaan dan sosial (mu’amalah) dapat saja terus dikembangkan dan disosialisasikan secara lintas dan saling memberi manfaat; dengan itulah kerjasama untuk kepentingan bersama bagi kehidupan yang harmoni, rukun, damai, dapat tercipta.
Oleh sebab itu, bangsa Indonesia sebagai bangsa yang tingkat pluralismenya sangat tinggi termasuk keragaman agama di dalamnya, program literasi lintas agama dan budaya dalam rangka penguatan kapasistas penganutnya dengan target lahirnya kemampuan mengelola keragaman menjadi power bersama perlu terus dilakukan dan disupport (Lembaga pengelolanya telah ada yakni Forum Komunikasi Antar Umat Beragama/FKUB). Keragaman agama serta budaya yang dimiliki masing-masing penganut beragama harus dipandang sebagai kekayaan yang mendatangkan manfaat bersama.
Upaya harmonisasi kerukunan antar umat beragama serta pengelolaan keragaman secara terpadu untuk mendatangkan kekuatan besar bagi kehidupan bersama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi tanggung jawab bersama pula. Semoga dengan usaha dan upaya edukasi keragaman agama dan budaya yang diimplementasikan kedalam perilaku sesama akan membawa kemasalahatan, kedamaian, dan keharmonisan bersama. Wallahul A’lam!
*) Penulis adalah Dosen Universitas Alkhairaat Palu.