FAEDAH adalah kata yang jika didengarkan akan menciptakan ketenangan, kebaikan, keberuntungan. Pokoknya sesuatu yang bikin bahagia. Karenanya kita sangat menyukainya dan selalu ingin bersamanya, tak ingin lepas darinya.
Beberapa diksi yang serupa dengan kata faedah ditemukan dalam pergaulan sehari hari seperti manfaat, maslahat. (ke)guna(an), utility, benefit, pragmatis.
Faedah dan beberapa diksi yang setidak tidaknya memiliki similar meaning disebut di atas, dalam pelajaran ilmu hukum berdudukan dalam salah satu mazhab yang populer disebut utilitarian.
Sang kondang yang mempolopori mazhab ini adalah Jeremy bentham. Kalimat kunci terkenal sebagai penanda khas mazhab ini adalah “ greatest happiness for the greatest number”. Terjemahan lepasnya kira-kira, “Kebahagiaan yang terbaik adalah yang memberi kebaikan kepada sebanyak mungkin orang”. Ikhtiar manusia harus mendatangkan kebahagiaan dan mengurangi derita. Jadi batu ujinya terletak pada konsekuensi kebahagiaan. Jika konsekuensi dari setiap ikhtiar tidak mendatangkan kebahagiaan, maka hal itu bukan kebaikan.
Selain sang kondang di mazhab ini yang disebutkan sebelumnya, ada pula John stuart mill serta Rudolf J hering. Mereka yang disebutkan terakhir ini, satu tempat tidur tapi lain mimpi dengan Jeremy Bentham. Jika Bentham menitik beratkan guna manfaat atas sesuatu beralamat pada sebanyak banyaknya orang (kepentingan umum), maka Mill berbeda dan berpandangan sebaliknya.
Menurutnya, kepentingan individulah yang harus terpenuhi/dipenuhi. Jika kepentingan pribadi telah terpenuhi maka kepentingan umum secara otomatis akan terpenuhi. Rudolf Von J hering hadir secara eklektik untuk mempertemukan dua kutup pemikiran yang tampaknya susah didamaikan. Dan memang ikhtiar itu tidak berlangsung baik dan terjebak dalam pusaran buntu tanpa ada rumusan konkrit.
Terlepas bahwa pikiran Bentham dikritik oleh Mill maupun Rudolf Von Jhering, secara utuh pemikiran para utilitarian itu telah menjadi salah satu mazhab pemikiran mainstream dalam ilmu hukum. Menjadi kanal mazhab berpikir. Hal ini mengindisikan bahwa mazhab ini berpengaruh dan diikuti oleh banyak kalangan. Persoalannya adalah, mengapa kebuntuan ditemukan terjadi pada mazhab ini, dan bagaimana jika dihubungkan dengan Peristiwa Idul Adha?
Kontekstualisasi Tesis Bentham dan Wiliam james Dalam Ilmu Hukum Serta Peristiwa Idul Adha.
Sungguh pikiran Bentham melalui ungkapan fenomemalnya sebagaimana tertera di atas, tidak secara khsusus ditujukan terhadap hukum. Tetapi melalui tulisan-tulisannya semisal, A Fragment on governtment and an introduction to the principles of morals and legislation, atau tulisan yang telah dialih bahasakan dalam bahasa Indonesia semisal, teori perundang undangan : prinsip prinsip legislasi hukum perdata dan hukum pidana, tesis statement bentham soal “greatest happiness for the greatest number” (GHFGN) konsisten mengalir.
Aliran GHFGN yang secara konsisten senantiasa menginspirasi itu, jika dikontekstualisasikan dalam bidang hukum maka akan menjadi, “hukum yang baik adalah hukum yang memberi guna-baik serta kebahagiaan kepada sebanyak mungkin orang”.
Senada dengan tesis statemen bentham, ditilik dari sudut pandang teori kebenaran, maka dapat dirumuskan menjadi, “sesuatu yang benar adalah jika memberi guna manfaat buat sebanyak orang”. Secara a contario diungkapkan: “jika sesuatu tidak memberi guna manfaat terhadap banyak orang, maka sesuatu itu adalah hal yang tidak benar”.
Berkelindan dengan ukuran guna kebaikan kepada sebanyak mungkin orang terhadap hukum dan kebenaran, maka di jalur titian nadi utilititarian tumbuh kelompok “pragmatism”.
Sang Kondang di titian Pragmatism ini adalah Wiliam james. Menyajikan kriteria kebenaran berdasar kerangka konsepsional sebagai berikut : (1). Work ability, yang berarti bahwa sesuatu yang benar jika dapat dikerja-wujudkan. Jika sesuatu tidak dapat dioperasi-implementasikan, kata anak muda “sama juga boong”. (2). Use Full, yang berarti bahwa sesuatu yang dapat dikatakan benar jika benar benar dapat digunakan-fungsikan. (3). Satisfaction factory, yang mengandung arti bahwa sesuatu yang benar adalah jika mendatangkan kepuasaan dan kebahagiaan.
Wiliam james melalui kerangka konsepsionalnya di atas, terlacak oleh saya sebagai seorang yang pikirannya merupakan varian turunan dari utilitarian.
Sekarang, dapatkah kita bayangkan bagaimana kerangka konsepsioanal James dioperasionalisasikan untuk memotret peristiwa Idul Adha?.
Idul Adha merupakan peristiwa yang terhubung dengan Nabi Ibrahim dan anaknya bernama Nabi Ismail. Adalah peristiwa mimpi yang dimaknai Nabi Ibrahim sebagai perintah untuk menyembelih anak terkasih, Nabi Ismail ( tidak usah diteruskan ya…Pro Memoria).
Perbuatan Nabi Ibrahim atas Nabi Ismail, jika dilihat dari perspektif James adalah saling bertolak belakang. Dapat disebutkan bahwa peristiwa yang terhubung perayaan idul adha, telah menjungkirbalikkan kerangka kebenaran yang dibangun Oleh James.
Jika peristiwa itu suatu saat datang menghampiri para utilitarian semisal “mangge nyamma”. Apa yang akan terjadi?. Apakah Mangge nyamma akan mampu mengerjakan penyembelihan? ( Kriteria kesatu dari james “work ability). Kemudian apakah ada guna manfaat bagi mangge nyamma atas penyembelihan itu? (kriteria kedua dari James “ use full”). Lalu, apakah penyembelihan itu mendatangkan kebahagiaan dan kepuasaan? (kriteria ketiga dari James “satisfaction factory”).
Menurut perspektif James, jika mangge nyamma melakukan atau tidak melakukan perbuatan itu, terdapat dua kemungkinan untuk menggambarankan narasinya.
Pertama, jika tidak melakukannya maka mangge nyamma telah melakukan sebuah kebenaran, karena terhindar dari melakukan sebuah perbuatan yang menyebabkan derita sakit, tidak berguna dan tidak membahagia-puaskan.
Kedua. Jika mangge nyamma melakukannya, maka mangge nyamma harus di serahkan kerumah sakit khusus bagi penderita sakit jiwa. Mengerjakan sembelihan terhadap anak sendiri (yang betahun tahun dinanti, sangat disayangi), lalu menimbulkan rasa berguna, bahagia dan puas. Perbuatan itu hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang memiliki ego pribadi yang sangat tidak terkendali dan telah sakit jiwa.
Meski perbuatan penyembelihan tidak selesai dilakukan oleh Nabi Ibrahim karena ada dorongan yang datangnya dari luar, tetapi tekad bulatnya Nabi Ibhrahim yang terhalang oleh hadirnya malaikat Jibril menggantikan Nabi Ismail dengan seekor qibas dapat dipandang sebagai perbuatan hanya dapat dilakukan sesorang yang tidak waras. Apakah Nabi Ibrahim, tidak waras?. Waras!!!, lalu bagaimana menjelaskannya?.
Disinilah letak kelemahan basis berpikir para utilitarian. Basis berpikir utilitarian adalah empirisme yang berhulu pada filssafat materialiasme. Ukuran ukuran yang melandasi pemikiran para utilitarian beserta varian turunan penganutnya adalah lahiriah-bendawi . Ini yang menyebabkan mengapa diskursus antinomik antara pengutamaan kepentingan umum (bentham) dan pengutamaan kepentingan individu (mill) serta eklektika Von Jhering mengalami jalan buntu.
Beda halnya dengan basis berpikir yang melandasi perbuatan Nabi Ibrahim. Tauhidullah.
Tauhidullah adalah suatu basis berpikir yang tersusun melalui totalitas ketinggian kesadaran hati nurani ( awareness and conciusness). Allah adalah tujuan kebaikan dan kebenaran, Allah tempat berlabuh terakhir bagi segala kebahagiaan dan kepuasan hakiki manusia. Oleh karena itu Nabi Ibrahim melakukan perintah penyembelihan, tanpa ragu sedikitpun. Faedah Idul adha bukanlah faedah material-empirisme.
Hal ini menyadarkan kita bahwa utilitarianisme tidaklah identitik dengan maslahah, meskipun dari segi bahasa sekilas keduanya berjumpa dalam pengertian sama yakni “manfaat”. Dan karena itu apakah tidak sebaiknya pendidikan tinggi hukum memasukan “maslahah” dalam etalase pembahasan mazhab mazhab filsafat hukum?, bukan seperti yang selama ini berlangsung, agar memahami faedah dan idul Adha atau kajian serupa dengan itu menjadi lebih mengena.
•Dosen fakultas Hukum Universitas Tadulako.