
PALU- Untuk tahun anggaran 2017 pemerintah pusat tak mengalokasikan anggaran untuk perkebunan kakao. Program pemerintah yang dahulunya bernama Gernas (Gerakan nasional) Kakao kemudian berubah menjadi pengembangan kakao berkelanjutan di tahun 2016, tidak lagi dikucurkan.
Pemerintah menilai kakao telah dialokasikan selama beberapa tahun namun tidak mengalami peningkatan. Pemerintah kemudian fokus pada program padi jagung dan kedelai (Pajala).
Dengan kondisi ini dipastikan akan berdampak pada penurunan produktivitas kakao di Sulawesi sebagai daerah penghasil terbesar kakao di Indonesia. Hal ini menjadi perhatian Badan Kerjasama Pembangunan Regional Sulawesi (BKPRS).
Belum lama ini di BKPRS Makassar, digelar rapat program kakao yang dihadiri Bappeda dan Kepala SKPD yang membidangi perkebunan se-Sulawesi. Mewakili Gubernur Sulawesi Tengah selaku Ketua BKPRS, Asisten Perekonomian Pembangunan dan Kesra, Dr Bunga Elim Somba BsC.
Ditemui di kantor gubernur kemarin (24/1), Elim somba menjelaskan perlunya solusi segera terhadap perkebunan kakao melalui BKPRS. Dikatakannya, kakao merupakan komoditi perkebunan rakyat. Dan kakao kebutuhan kakao sebenarnya cukup tinggi.
‘’Kebutuhan kakao tinggi hanya saja ini penanganannya tidak bisa hanya dilakukan oleh petani, perlu intervensi pemerintah. Karena di samping dia kena penyakit juga sudah banyak kakao kita ini yang tua dan membutuhkan peremajaan dan rehabilitasi,’’ungkap Elim Somba.
Sayangnya lanjut Elim, upaya untuk mendorong peningkatan mutu dan kualitas kakao ini tidak di dukung oleh anggaran. Karena pemerintah pusat tidak lagi mengalokasikan anggaran untuk program kakao.
‘’Sayangnya tahun anggaran ini, tidak ada APBN untuk kakao. Menurut Menteri pertanian selama ini kakao sudah dibantu tapi tidak meningkat produksinya. Jadi mereka (Kementan) konsentrasi di Pajala,’’ jelas Elim.
Guna peningkatan produksi kakao kata Elim, pemerintah mendorong petani menggunakan pola Kredit Usaha Rakyat (KUR). Sementara diketahui di tingkat petani selama ini masih cukup sulit bersentuhan dengan program KUR.
‘’Jadi untuk pupuk dan semua kebutuhan komoditi kakao menggunakan KUR. Padahal karakteristik petani kita, untuk mendapatkan KUR agak susah, karena mungkin belum bersertifikat lahannya serta berbagai persyaratan kredit lainnya,’’ terang Asisten II.
Dengan kondisi ini, jelas Elim Somba para gubernur se Sulawesi yang tergabung dalam BKPRS berpikir untuk mengambil langkah dengan mengajukan proposal ke pemerintah pusat. Proposal ini diajukan untuk kembali mendapatkan anggaran untuk kakao. Mungkin tidak secara nasional, paling tidak anggaran kakao untuk Sulawesi.
‘’Karena selama ini sektor perkebunan lari ke sawit, sementara cokelat tidak dianggarkan. Padahal sawit itu perkebunan besar,’’ jelasnya.
Dalam waktu dekat kata Elim proposal tersebut akan diajukan ke wakil presiden. Karena program pengembangan kakao ini telah mendapat persetujuan dari Wapres. Hanya saja sebelumnya tidak disetujui Menteri Pertanian.(awl)
Program pajale kurang bermanfaat lebih baik kembali ke program gernas kakao karna jagung sama kedelai ada musim tanamnya yaitu setelah panen padi karna tdk ada lahan jagung dan kedelai banyak bibit jagung tdk dtanam karna tdk ada lahan ditambah hamanya banyak monyet dan babi hanya sedikit petani yg mau tanam jagung sama kedelai petani kebun khususnya sulawesi lebih condong pada gernas kakao karna sdah dirasakan hasilnya