OPINIPERISTIWASULTENG

Benturan Mental dan Resonansi Aspirasi Pejabat Administrasi Terhadap Penyetaraan ke Jabatan Fungsional

Dr. Syarif Makmur, M.Si. (FOTO : ISTIMEWA)
Dilihat

INSTRUKSI Presiden Joko Widodo kepada Menpan RB Tjahyo Kumolo tidak bisa ditawar-tawar lagi melihat postur tubuh birokrasi pemerintahan daerah yang gendut, penuh lemak, kolesterol tinggi dan menjadi sarang berbagai penyakit birokrasi.

Ibarat seorang atlit, struktur birokrasi di pemerintahan daerah sudah kalah sebelum bertanding. Kekalahan utama ada pada cara berpikir dan cara bersikap para pejabat struktural yang selama ini berada di zona nyaman tetapi tidak aman.

Zona nyaman, karena pejabat struktural dilengkapi dengan segala fasilitas negara, mendapatkan tunjangan, memiliki staf dan ada kekuasaan dan kewenangan memerintah, mengelola anggaran negara yang cukup besar, serta dihormati dan dihargai.

Tidak aman, karena para pejabat struktural ini menjadi sorotan publik dan wilayah yang paling seksi untuk dilihat dan ditonton setiap waktu. Berbuat kesalahan dan salah mengenderai jabatannya pasti dikenakan tilang oleh aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum, apakah Kejaksaan atau Kepolisian, lebih lebih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menyorot perilaku para pejabat struktural ini.

Perilaku menyimpang masih terus membayangi para pejabat struktural, bila pengawasan dan kontrol yang rendah dan minim dari pejabat tinggi pratama dan pejabat tinggi madya.

Dan, lebih berbahaya lagi bila pejabat tinggi pratama dan pejabat tinggi madya tidak bekerja sesuai dengan sistem dan mekanisme ketentuan perundangan yang berlaku, maka perilaku menyimpang akan selalu terjadi.

Penyimpangan perilaku pejabat struktural diawali dari cara berpikir dan cara bersikap yang salah dan hal itu berpengaruh kepada cara bertindak atau cara berperilaku yang salah (Sigmund Preud: 1939).

Cara berpikir, cara bersikap dan cara bertindak dengan pendekatan struktural selama ini yang membuat birokrasi Indonesia malas, lambat bergerak, tidak selincah sahabatnya di jabatan fungsional, yang mandiri, profesional dan berdedikasi serta berintegritas dengan kepakaran dan kompetensinya.

Menpan RB Tjahyo Kumolo berulang kali dengan tegas menyatakan segera melakukan penyesuaian jabatan administrasi dan jabatan pelaksana ke jabatan fungsional tertentu di semua Kementrian dan lembaga pemerintahan daerah.

Permen PAN RB nomor 28 tahun 2019 sudah terimplementasi di semua kementrian dan lembaga walaupun belum sepenuhnya maksimal.

Bagaimana dengan Struktur Birokrasi Pemerintah Daerah

Yang paling sulit menghadapi kebijakan pemerintah ini adalah pemerintah daerah. Kesulitan Pemerintah Daerah yang paling dominan ada pada unit-unit pengelola kepegawaian dan pengelola organisasi dan tata laksana, dimana rata-rata Pemda-nya sedikit sekali memiliki sumber daya manusia (SDM) yang berkualifikasi analis kepegawaian dan analis kelembagaan yang nantinya akan mengelola dan merumuskan kebijakan ini.

Bagi Pemda-pemda di Jawa terutama Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, serta Pemda DIY sangat diyakini akan cepat bekerja dan menyesuaikan penyetaraan jabatan ini karena SDM-nya mendukung, tetapi bagi Pemda-pemda di luar itu diyakini dan sangat diyakini akan mengalami kesulitan dan akan terjadi klaim dan penolakan oleh sebagian besar ASN untuk migrasi ke jabatan fungsional.

Benturan mental dan resonansi aspirasi para pejabat administrasi dan pejabat pelaksana di lingkungan Pemda ini sudah mulai dirasakan.

Peran Kepala Daerah dan Sekretaris Daerah (Sekda)-nya amat menentukan untuk meminimalisir benturan dan resonansi yang terjadi ini.

Bagaimanapun juga mereka (pejabat administrasi) merupakan garis depan dan ujung tombak kepala daerah, bahkan disinyalir mereka-mereka ini adalah tim-tim sukses saat digelarnya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2020.

Ada korelasi yang sangat signifikan antara benturan mental dan resonansi pejabat administrasi ini dengan klaim atau penolakan mereka terhadap implementasi kebijakan ini. Salah satu hubungan linearnya ada pada keberadaan mereka sebagai kepercayaan full kepala daerah dalam menyukseskan Visi dan Misi lima tahun ke depan.

Kepala daerah telah memfasilitasi mereka dengan sejumlah anggaran dan sejumlah kewenangan dalam rangka mencapai kinerja Pemda, kinerja politik bahkan prestasi pribadi kepala daerah dan keluarganya. Semua prestasi kerja ini dilaksanakan oleh pejabat administrasi dan pejabat pelaksana sebagai ujung tombak dan garis depan kepala daerah.

Ujung tombak dan garis depan karena mereka adalah eksekutor di lapangan yang mendistribusi perintah, larangan, hak dan kewajiban rakyat dan para pendukung.

Disamping kedudukannya sebagai Pejabat Pembuat komitmen (PPK) untuk semua program dan kegiatan di setiap unit kerja, merekapun sebagai pejabat yang bertanggungjawab secara teknis dan yang memegang anggaran atau dana pada saat pencairan.

Kondisi dan fenomena yang digambarkan di atas inilah merupakan salah satu problem psikologis yang dihadapi para kepala daerah dalam rangka penerapan kebijakan Menpan RB nomor 28 tahun 2019.

Hanya Masalah Mental Saja
Ini masalah mental saja, jika tradisi dan kebiasaan mereka dengan style atau gaya struktural yang membuat mereka happy, saat ini harus segera berubah dengan gaya fungsional yang mengandalkan kompetensi dan profesionalitas.

Mental mensyukuri fasilitas apa adanya dan tunjangan negara sesuai pangkat dan kompetensi harus tertanam dan membathin dalam jabatan baru sebagai pejabat fungsional.

Benturan pendapat dan benturan pendapatan juga menjadi diskusi di birokrasi Pemerintahan daerah. Dari sisi pendapatpun sangat bervariasi, ada sebagian berpendapat bahwa pejabat struktural lebih enak dari pada pejabat fungsional, sebaliknya ada yang berpendapat justru pejabat fungsional lebih enak dari pejabat struktural, karena bisa mandiri, tidak diperiksa pertanggungjawaban keuangan, dan lain-lain.

Kesenjangan pendapatan antara pejabat struktural dan pejabat fungsional ini yang menjadi problem besar. Terkesan dan merupakan fakta bahwa pejabat struktural lebih sejahtera dari pada pejabat fungsional sekalipun tidak bahagia dalam tanda kutip. Sebaliknya pejabat fungsional lebih tidur nyenyak walaupun makannya sedikit. Tinggal mereka memilih “Makan enak atau tidur nyenyak”.

Bagi mereka yang obyektif dan rasional cara berfikirnya akan memilih tidur nyenyak sebagai pertimbangan yang sangat manusiawi dari pada makan enak, perut kenyang, tidak bisa tidur berakibat berat badan naik, tertumpuk lemak, kolesterol tinggi yang menyebabkan muncul berbagai penyakit birokrasi yang tidak kita inginkan.

Penyakit-penyakit birokrasi yang tidak kita inginkan ini menjadi alasan Presiden Jokowi memerintahkan Menpan RB Tjahyo Kumolo menerbitkan Permen PAN RB nomor 28 tahun 2019 tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi ke Jabatan Fungsional.

Jabatan fungsional merupakan pilihan yang tepat bagi birokrasi Pemerintahan Daerah. Pilihan ini karena isu reformasi birokrasi yang sering dipublikasi dan didengungkan selama ini berjalan di tempat dan tidak mengalami perubahan yang signifikan karena kita masih melihat jabatan struktural sebagai solusi ASN untuk profesional, netral dan sejahtera (PNS), padahal profesionalitas dan netralitas justru milik pejabat fungsional.

Sangat sulit kita dapatkan di birokrasi Pemerintahan Daerah yang bersikap netral, apalagi netral dalam Pilkada. Kalau netral atau adil dalam pelayanan masih cukup banyak ASN yang seperti itu. Pilkada pun telah membuat keretakan birokrasi di daerah dan ada Pemda yang sampai membahas APBD tertunda-tunda karena tarik menarik kepentingan politik.

Pilkada juga sebagai salah satu penghambat utama dalam penerapan berbagai kebijakan pemerintah pusat terkait dengan manajemen ASN, refocusing APBD, dan pengelolaan dana desa dan masih banyak lagi kebijakan yang tidak dapat berjalan secara efektif.

Eranya Pejabat Fungsional di Garda Terdepan Birokrasi

Jika birokrasi Indonesia sukses melakukan perampingan jabatan dan jabatan fungsional lebih ditonjolkan, dapat dipastikan Indonesia dapat mensejajarkan diri dengan negara-negara yang pengelolaan birokrasinya terbaik di dunia.

Di Asia, Singapura dan Jepang menjadi negara dengan birokrasi terbaik dan dianggap paling efisien. Di dunia, negara-negara seperti Swiss, Denmark, Australia, Inggris, Finlandia, dan Norwegia menjadi urutan teratas dalam urusan birokrasi pemerintahan.

Global Innovation Index (GII) edisi 2020 kembali menetapkan Swiss sebagai negara paling inovatif di dunia, diikuti oleh Swedia, Amerika Serikat (AS), Belanda, dan Inggris (UK).

Urutan tersebut tak jauh berbeda seperti tahun lalu. Namun, yang terlihat sangat berbeda pada tahun ini adalah Singapura bukan lagi satu-satunya negara di kawasan Asia yang masuk dalam 10 besar.

Selain Singapura yang berada di urutan kedelapan, kini ada Korea Selatan yang menempati urutan ke10. Pemberian peringkat itu berdasarkan 80 indikator, mulai dari parameter tradisional seperti investasi untuk penelitian dan pengembangan serta pendaftaran paten dan merek dagang secara internasional, hingga indikator yang lebih baru termasuk pembuatan aplikasi telepon seluler dan ekspor teknologi tinggi.

Ternyata, prestasi sebagai negara terbaik itu karena ada inovasi dan hasil penelitian yang dilakukan oleh kelompok-kelompok jabatan fungsional yang bekerja secara mandiri, dengan kompetensi tingkat tinggi.

Indonesia belum terlambat. Yuk !!! para ASN fungsional pilihan terbaik.

*) Penulis adalah alumni Sains dan Teknologi Akprind Jogyakarta.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.