Cara menolak lupa yang terbaik adalah dengan menyimpan semua catatan dan informasi penting dalam berbagai bentuk, sebagai arsip. Kejadian saat bencana alam terjadi dan masa setelahnya, tidak cukup hanya dikenang dan diceritakan kembali ke generasi selanjutnya dengan cara bertutur, seperti kebiasaan kita di Sulawesi Tengah. Bisa bias nantinya. Itulah mengapa National Diet Library, perpustakaan nasional Jepang, membuat HINAGIKU. Apa itu?
LAPORAN: Nur Soima Ulfa
SEBENARNYA ada pelajaran penting yang terlewati dari catatan perjalanan dalam Program Belajar UNESCO Disaster Prevention & DRR Strategy ini. Yakni pelajaran yang kami dapatkan saat mengunjungi National Diet Library, sebuah perpustakaan nasional Jepang, yang berada di kawasan distrik Kota Chiyoda, Tokyo.
Usai makan siang di distrik Kota Tachikawa, kami langsung menuju ke lembaga yang mengumpulkan dan menyimpan semua terbitan yang diterbitkan di Jepang ini. Kunjungan kami di tempat ini, ada hubungannya dengan pelajaran penting yang dapat kami bawa ke Sulawesi Tengah. Utamanya dalam masa transisi tanggap darurat ke masa rekonstruksi dan rehabilitasi pascagempa dan tsunami pada 28 September lalu. Harapannya seperti itu.
Tiba di National Diet Library, jelang sore sekitar pukul 15.00 JST pada Selasa (22/2), kami langsung di arahkan ke ruangan tempat rapat dan merupakan bagian dari kantor perpustakaan. Tidak sempat untuk jalan-jalan tur perpustakaan. Padahal, saya sempat melihat melalui jendela kaca besar dari entry room, betapa menariknya interior ruangan perpustakaan yang letaknya di basement itu.
Rupanya tim kami sudah ditunggu oleh sekitar 4 orang di ruang rapat. Satu di antaranya bahkan memiliki kamera dan sempat memotret kami. Sementara dua di antaranya, yakni Atsuko Ito dan satu rekan kerjanya berpakaian jas resmi, akan menjadi “mentor” kami saat itu. Tidak banyak berbasa-basi, pelajaran kami pun dimulai. Pelajarannya tunggal: belajar tentang HINAGIKU.
Kata HINAGIKU merupakan singkatan dari Hybrid Infrastructure for National Archive of the Great East Japan Earthquake and Innovative Knowledge Utilization. Dari namanya asaja sudah bisa ditebak HINAGIKU berkaitan dengan penyimpanan data dan informasi mengenai bencana besar gempa bumi yang terjadi di wilayah timur Jepang pada 11 Maret 2011. Secara harfiah, kata Hinagiku juga berarti bunya krisan atau daisy yang melambangkan masa depan, harapan, dan simpati.
Sebagai informasi latarbelakang, Ito menerangkan setelah gempa bumi melanda wilayah Tohoku 8 tahun silam, pemerintah Jepang mengakui adanya kebutuhan mendesak untuk membuat arsip informasi tentang bencana alam yang belum pernah terjadi sebelumnya. “Sehingga ada pelajaran yang dipetik dari pengalaman ini dan tidak akan hilang,” ujar Ito, yang merupakan pustakawan senior dari Departemen Infomasi Digital di National Diet Library.
National Diet Library, yang memiliki kewajiban sebagai perpustakaan nasional yang memiliki tugas pokok dan fungsi mengumpulkan, melestarikan, dan mencatat berbagai bahan aspek warisan budaya Jepang, langsung merespons kebutuhan mendesak ini. Bekerja sama dengan lembaga pemerintah Jepang, National Diet Library membuat situs portal HINAGIKU. Harapannya, para peneliti dan pihak yang berkepentingan lainnya, dapat mencari dan mengakses berbagai arsip gempa bumi.
“Ada 4 juta metadata yang bisa diakses siapa pun tentang peristiwa gempa ini,” tambah Ito.
Dalam kesempatan itu, Ito berbagi pengalaman bagaimana HINAGIKU terbentuk, tahapan dan tantangan serta pencapaian yang telah mereka lewati dalam upaya mengkonfigurasi HINAGIKU. Utamanya untuk memfasilitasi akses ke dokumentasi yang diterbitkan atau diarsipkan terutama, oleh lembaga pemerintah nasional dan pemerintah kota.
Ito menjelaskan HINAGIKU yang memiliki visi sebagai wadah penyampaian pelajaran tentang The Great East Japan Earthquake and Tsunami 2011 ke generasi mendatang. Sebab itu, semua informasi penting dan catatan mengenai kejadian serta apa yang terjadi setelahnya, coba dihimpun. Tentunya dilakukan verifikasi, seleksi dan yang hanya benar-benar valid-lah, yang bisa diinput ke dalam data base HINAGIKU.
Keberadaan HINAGIKU, jelas Ito, memungkinkan akses ke bahan-bahan yang mendokumentasikan pengalaman bencana di masa lalu untuk dimanfaatkan dalam perencanaan pencegahan bencana saat ini dan di masa depan. Itu dimungkinkan terjadi melalui fungsi pencarian terintegrasi dari beberapa arsip digital yang dibuat oleh pemerintah kota, lembaga akademik, Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi, dan organisasi lain serta National Diet Library sendiri.
“HINAGIKU juga memungkinkan pengunjung mencari catatan yang disimpan di National Diet Library dan lembaga lainnya. Dan juga pengetahuan baru yang dihasilkan dari penelitian tersebut, juga dapat diintegrasikan ke dalam HINAGIKU sebagai konten baru. Jadi tidak selalu tentang informasi masa lalu,” papar Ito.
Dalam perkembangannya, bahan-bahan dokumentasi, catatan serta hasil penelitian yang dimiliki oleh HINAGIKU, tidak hanya menyoal The Great East Japan Earthquake and Tsunami 2011 serta peristiwa di Pusat Pembangkit Listrik Nuklir Fukushima sebagai rangkaian kejadiannya. Tetapi juga menghimpun informasi dan arsip tentang kejadian bencana gempa dan tsunami secara umum.
Bahan yang dimiliki oleh situs portal ini, jelas Ito, tersedia dalam berbagai format, termasuk laporan tertulis, makalah penelitian, artikel, foto, video, rekaman audio, dan data fakta. Dengan begitu, posisi HINAGIKU juga berperan sebagai arsip nasional informasi seismik yang menghimpun segala informasi baik dari pemerintah maupun lembaga swasta. “Skripsi mahasiswa sampai catatan simposium yang terkait dengan gempa dan tsunami juga ada,” tambah Ito.
Dia pun mengungkapkan peristiwa gempa dan tsunami Aceh yang terjadi pada 2004 lalu juga ada di dalam HINAGIKU. Portal yang juga tampil dalam bahasa Inggris ini, memiliki 234 dokumen, 2 foto dan 25 film dokumenter atau video tentang gempa dan tsunami Aceh. Sumbernya dari Pemerintah Jepang dan peneliti di Harvard University. Belum ada sumbangan informasi dari Aceh atau pemerintah Indonesia secara umum.
Terkait sumber material yang ada di dalam HINAGIKU, Ito mengungkapkan pihaknya juga menerima sumbangan data digital dari organisasi lain dan mengumpulkan bahan pustaka baru sesuai dengan ketentuan Perpustakaan Diet Nasional. Ada hal yang perlu diperhatikan dan hati-hati terkait dengan sumber ini. Utamanya dalam copy right alias hak cipta dan juga terkait dengan hak privacy.
Khusus hak privacy, Ito menjelaskan di Jepang, setiap individu dilindungi privasinya dengan ketat di bawah aturan undang-undang. Contoh sederhananya adalah menyebarkan gambar wajah di foto maupun video tanpa seizin orangnya, bisa berakibat fatal karena bisa berbuntut tuntutan hukum. Namun setiap arsip foto maupun video yang dimiliki HINAGIKU dipastikan telah lulus untuk urusan seperti ini.
Soal kekhawatiran melanggar hak privasi, ternyata menjadi pertimbangan utama untuk tidak memasukkan rekaman video CCTV dalam HINAGIKU. Pasalnya, menurut Ito, rekaman CCTV berpotensi besar melanggar hak privasi orang. Sebab yang terekam tidak sadar dirinya masuk ke dalam rekaman.
Ini menjawab pertanyaan saya apakah rekaman CCTV bisa menjadi arsip resmi? Pasalnya, saat kejadian gempa dan tsunami di Kota Palu dan sekitarnya, ada banyak video rekaman CCTV yang beredar di akun sosial media. Dalam video ini banyak merekam detik-detik terjadinya tsunami di sekitar Teluk Palu. Ada juga yang merekam kejadian gempa di beberapa titik Kota Palu. Mungkin saja, ada pembelajaran yang bisa diambil di dalamya.
“Video rekaman CCTV tidak boleh dijadikan arsip di sini (National Diet Library, red), karena melanggar Hukum Privasi di Jepang. Pernah ada stasiun TV yang merekam kejadian saat bencana terjadi 2011 lalu, tetapi rekamannya tidak ada di sini,” jelas Ito.
Dari jawabannya itu, Ito menggambarkan bahwa video yang sumber jelas sekalipun, dalam hal ini produk jurnalistik (rekaman video televisi), belum tentu bisa dijadikan arsip bila menyangkut hukum privasi tadi. Hmm.. betul-betul ketat.
Untuk menjamin material yang dimiliki oleh HINAGIKU tidak sembarangan dan jelas sumbernya, maka turut disertakan informasi terkait sumber. Misalnya, material foto. Selain nama individu atau lembaga pemilik, turut disertakan informasi detil tentang kapan, dimana (beserta titik koordinat GPS), hingga menggunakan jenis kamera apa. Sedetil itu. Jadi tidaklah main-main.
Semua arsip yang ada di HINAGIKU, jelas Ito lebih lanjut, juga didapatkan dari kerja sama antara National Diet Library dengan arsip lokal yang dimiliki oleh pemerintah kota di daerah terdampak bencana. Menurutnya, banyak pemerintah kota yang telah mengarsipkan catatan tentang bencana di tahun 2011 dan dokumen yang terkait dengan tindakan pencegahan bencana pada masa kini. Termasuk mengarsipkan dokumentasi program mitigasi bencana y agar sesuai dengan rekomendasi dari Undang-Undang Dasar Penanggulangan Bencana Jepang.
Selain bekerja sama dengan pemerintah lokal, National Diet Library juga menghimpun sumber dari lembaga swasta hingga perusahaan. Namun tidak semua kerja sama dengan lembaga swasta ini tidak selamanya berdasarkan asas sukarela, karena arsip yang disediakan oleh mereka ada juga yang tidak gratis ketika diakses.
Sederhananya, ada beberapa arsip yang mengharuskan kita membayar untuk mendapatkannya. Hasil pembayaran tidak sepenuhnya untuk keuntungan, karena turut digunakan untuk biaya operasional dan pemeliharaan server HINAGIKU itu sendiri. Ini menjadi solusi tersendiri dalam upaya menjamin keberlangsungan program. Sebab ketersediaan dana untuk mendukung HINAGIKU tetap ada di masa depan, juga tidak bisa ditampik.(bersambung)

BIAR JADI KENANGAN: Wakil Kepala Museum Sulteng Iksam Djahidin Djorimi memberikan lukisan desain bunga di atas kulit kayu kepada Pustakawan Senior National Diet Library, Atsuko Ito (tengah). Lukisan itu merupakan karya siswa MTS Nurul Islami atas nama Mita Anggraeni.