Pola pikir yang berbeda menjadikan Bangsa Jepang dan Indonesia, khususnya Sulawesi Tengah, menjadi berbeda. Tindakan yang dilakukan pun berbeda. Utamanya menyoal kenangan tentang bencana. Bangsa Jepang mengasup prinsip menolak lupa. Jika ingin “move on”, kenangan pahit tidak boleh dilupakan. Justru menjadi “bahan bakar” untuk menyongsong masa depan lebih baik. Bagaimana ceritanya?
LAPORAN: Nur Soima Ulfa
SETELAH bencana The Great East Japan Earthquake and Tsunami 2011, pemerintah Jepang banyak membangun memorial hall. Utamanya di lokasi terdampak. Isinya semua informasi tentang gempa dan tsunami yang pernah terjadi dalam berbagai bentuk media komunikasi: maket, peta, foto, citra satelit, buku, video, dokumenter, pamflet, brosur, hingga dalam bentuk virtual reality yang canggih itu.
Memorial hall ini ada yang berupa bangunan semipermanen maupun permanen tergantung lokasinya. Begitu pun isinya. Sangat beragam. Ada yang lengkap dan canggih, ada pula yang berisi hanya maket lokasi wilayah terdampak sebelum bencana. Namun sangat bermakna.
Seperti memorial hall di Desa Kamaya, yang berada tepat di muara Sungai Kitakami di Ishinomaki, Prefektur Miyagi. Di tempat ini kami tiba sekitar magrib pada Rabu (23/), usai mengunjungi Rias Ark Museum of Art di Kota Kesennuma. Di museum ini kami berkempatan mengunjungi ruang pameran khusus yang memamerkan benda-benda sehari-hari pascagempa dan tsunami. Kunjungan di museum ini, akan dibahas terpisah bersama dengan museum lainnya.
Saat matahari tenggelam di balik perbukitan Desa Kamaya, saat itu pula angin kencang bertiup. Membuat suhu semakin dingin terasa. Tidak mau berlama-lama “dihajar” angin, kami pun segera bergegas masuk ke sebuah bangunan semi permanen kotak berukuran sekitar 5 meter x 5 meter. Berlari dari mobil ke dalam ruangan. Berharap bisa mendapatkan kehangatan.
Masuk di ruangan ini sungguh bikin takjub. Tidak menyangka, bangunan kecil yang saya pikir adalah kantor proyek rekonstruksi, ternyata adalah sebuah memorial hall. Pasalnya, bangunan ini berada di area proyek yang di sekelilingnya adalah lahan kosong melompong. Namun saat masuk ke dalamnya, keberadaan maket raksasa menjadi point utama dan begitu menarik perhatian.
Hendo Hito (64), seorang pensiunan, langsung menyambut kami. Dia bertugas hari itu dan tanpa berlama-lama, dia pun bercerita soal maket yang sedari tadi membuat kami bengong. Hito menjelaskan maket raksasa bernama Lost Home. Sama seperti nama programnya.
Nama Lost Home dipilih bukan tanpa alasan. Sebab Desa Kamaya sepenuhnya hilang dari peta setelah tsunami setinggi 11,8 meter datang menyapu dari arah muara sungai. Seluas 300 hektare wilayah desa habis tanpa sisa. Gelombang tsunami bahkan baru berhenti 41 kilometer jauhnya. Menyisakan lahan kosong yang tak layak huni.
Nah, rumah warga, ruang publik dan segala infrastruktur yang ada di dalam maket tadi, sejatinya adalah gambaran desa sebelum bencana terjadi. Lost Home adalah program mengingat kembali, yang melibatkan warga desa.
Menurut Hito, warga desa datang membantu mahasiswa arsitektur merekonstruksi kembali desa mereka dalam maket. Menunjukkan dimana saja letak gedung, jalan raya, toko, area persawahan, hingga lokasi sekolah. Si pemilik rumah bahkan datang dan membantu mengecat atap-atap miniatur rumah mereka sebelum hancur serta memberinya label.
Ya. Anda tidak salah baca. Warga desa yang rumahnya hancur itu, yang kehilangan dan menderita trauma itu, bersedia ikut terlibat dalam membuat maket. Saya sendiri tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan mereka saat membuat maket. Tentunya kenangan terhadap desa dan saat kejadian terjadi, pasti kembali teringat ketika mengerjakan maket.
“Ada juga warga, yang menolak terlibat. Tidak apa, karena alasannya dapat dimengerti. Ini semua berat apalagi menyangkut kenangan pribadi,” ungkap Hito.
Program mengingat kembali Lost Home tersebut menurutnya akan dikembangkan lebih besar. Akan dibuat maket 2 kali lipat besarnya dan akan ditaruh di memorial building. Menurut Hito, belum diketahui seperti apa gedung permanen, yang didirikan sebagai tempat kenangan di Desa Kamaya itu.
Tetapi monumen pengingat itu penting ada agar Bangsa Jepang tidak akan lupa sejarah bencana pahit yang pernah terjadi pada 3 Maret 2011 itu. Termasuk peristiwa menyesakkan dada, yang terjadi di SD Okawa, Desa Kamaya. Gedung sekolah ini hanya berjarak sekitar 30-50 meter dari bangunan memorial hall.
Mendengar cerita kejadian ini dari mulut Hito membuat perasaan saya bercampuk aduk: sedih, marah, kecewa, sekaligus tidak berdaya. Perasaan yang sama, saya yakin juga dirasakan oleh anggota tim kami lainnya; Wakil Kepala Museum Iksan Djahidin Djorimi, Amaluddin Amir Tarawe penerjeman kami, dan programmer Program Belajar UNESCO Disaster Prevention & DRR Strategy , Prof Isamu Sakamoto.
Hito menceritakan saat kejadian ada 74 siswa SD Okawa tewas akibat tsunami. Termasuk guru, wakil serta kepala sekolah. Yang selamat hanya ada satu murid dan satu guru. Bagaimana bisa? ”Waktu itu alarm peringatan berbunyi, semua siswa dan guru diminta naik ke atas gedung dan tidak kemana-mana. Semuanya naik dan bertahan di atas gedung, padahal waktu itu bisa saja mereka lari ke arah bukit depan sekolah yang lebih tinggi,” terang Hito.
Karena bertahan di atas gedung, maka semuanya tidak selamat karena tergulung gelombang tsunami yang masuk lewat aliran sungai. Sekolah yang hanya berjarak kurang lebih 200-300 meter dari sempadan Sungai Kitakami, tidak selamat dari amukan air.
Usut punya usut, dari kejadian itu ada 1 guru dan 1 siswa yang selamat. Mereka sempat lari ke arah bukit depan sekolah dan terus berlari di sepanjang perbukitan. Siswa yang selamat ternyata mengaku tidak mendengar instruksi harus naik ke atas gedung, karena itu dirinya berinisiatif lari ke bukit tinggi depan sekolah. Sementara satu guru yang selamat diduga melarikan diri. Padahal guru tersebut diyakini warga adalah guru, yang memberikan perintah untuk evakuasi ke atas gedung.
“Si guru ini ditemukan warga tidak dalam keadaan basah dan belakangan diketahui dia melarikan diri ke arah bukit. Tapi kepada warga dia mengaku ikut tergulung ombak. Karena itu, beban moril atas kejadian ini ditanggung oleh wakil dan kepala sekolah yang ikut meninggal,” ungkap Hito.
Ditambahkannya, yang menjadi penyesalan warga desa adalah mengapa siswa tidak diarahkan lari ke bukit. Padahal, siswa sangat mengenal seluk beluk bukit depan sekolah karena merupakan area bermain mereka sehari-hari. Seandainya saja, mereka bisa selamat.
Kisah kematian siswa SD Okawa tersebut kini menjadi pengingat di seluruh negeri. Bahkan dari peristiwa ini muncul kampanye “Sensei No Iyu Toorini Shisteita Noni” atau dalam arti harfiahnya yakni “Padahal Kami Sudah Menurut apa yang Dikatakan Guru”. Warga Kamaya dan warga Jepang lainnya akan mengenang kisah ini sebagai pelajaran di masa mendatang.
Cerita-cerita sedih dan kenangan gempa dan tsunami 2011 bisa kita temukan di setiap memorial hall. Bukan hanya di Desa Kamaya. Kami juga menemukan kisah gedung SD yang terbakar karena gempa 2011 di Memorial Hall Minamihama Tsunagu-kan di Kota Ishinomaki.
Kami tiba di memorial hall ini pada malam harinya. Kami berkendara sekitar 24, 8 kilimoter masuk ke arah Kota Ishinomaki, Prefektur Miyagi dan tiba di Memorial Hall Minamihama Tsunagu-kan. Tempat ini seperti bangunan semi permanen dengan bahan gipsum dan kayu. Tapi lebih rapih dan terlihat lebih kokoh dari memorial hall di Desa Kamaya.
Daerah sekitar Memorial Hall Minamihama Tsunagu-kan tersasa bagaikan kota mati. Sebab tidak ada rumah yang berada di sekitar gedung dan situasinya gelap gulita. Satu-satunya penerangan datang dari lampu Memorial Hall Minamihama Tsunagu-kan.
Seiko Ito, staf penjaga Memorial Hall Minamihama Tsunagu-kan, menerangkan bahwa daerah sekitar bangunan ini adalah area terdampak gempa dan tsunami. Sebab itu masuk dalam daerah no building zone alias daerah dilarang membangun.
Gedung Memorial Hall Minamihama Tsunagu-kan terletak kira-kira 400-500 meter dari pesisir pantai. Di bangunan ini ada banyak data dan informasi lengkap seputar kejadian bencana gempa dan tsunami 2011 di Kota Ishinomaki . Data dan informasi ini terinput di berbagai jenis media dan terhitung lengkap. Sebut saja maket Kota Ishinomaki, foto kota sebelum dan sesudah gempa, virtual reality yang berisi gambar kota sesaat setelah kejadian, ada buku, peta manual maupun digital, hingga video dan ruang teater mini.
Melihat fasilitasnya, Memorial Hall Minamihama Tsunagu-kan termasuk fasilitas yang terlengkap, yang pernah kami kunjungi. Di tempat ini banyak kisah didokumentasikan dan menjadi pusat edukasi Bosai bagi setiap pengunjung. Misalnya, kisah gedung SD Kadonowaki yang berdiri tahun 1873, habis terbakar setelah gempa, dan beberapa gedung bersejarah milik kota lainnya, yang ikut hancur. Ito, kala itu juga sempat bercerita saat kejadian terjadi dan bagaimana sebagian warga lari ke bukit tinggi di sekitar kuil untuk menyelamatkan diri.
“Dulu di kawasan pesisir ini ada kompleks pabrik. Waktu gempa terjadi, buruh pabrik masih mengenakan baju kerja lari keluar gedung dan lari ke arah bukit sambil berteriak minta warga juga lari. Karena dikhawatirkan ada tsunami. Warga yang lari ikut selamat dan sampai sekarang mereka berterima kasih kepada buruh pabrik, karena sudah menyelamatkan nyawa mereka,” ungkap Ito.
Di balik kisah ini, Ito mengungkapkan warga kota banyak mengambil pelajaran. Sebab tidak sedikit juga warga saat gempa terjadi masih bertahan di lantai dua rumah mereka. Warga ini yakin tsunami tidak akan sampai ke rumah mereka, namun ternyata salah. Mereka meninggal digulung gelombang. Ito menyebutkan tinggi gelombang di daerah sekitar Memorial Hall Minamihama Tsunagu-kan mencapai ketinggian 5,5-6 meter.
Korban jiwa dan kerusakan yang tidak sedikit jumlahnya, sempat membuat warga Kota Ishinomaki down. Untuk membangkitkan semangat warga, pengurus Memorial Hall Minamihama Tsunagu-kan, kerap melibatkan warga membuat event dan memiliki banyak kampanye penyemangat. Event tersebut adalah event tahunan peringatan 11 Maret 2011 yakni Mirayi Sapoto Ishinomaki dan Ganbarō Ishinomaki.
“Intinya untuk menyemangati bahwa Ishinomaki bisa bangkit kembali. Bersama-sama pasti bisa,” ungkap Ito.
Keesokan harinya, pada Kami pagi (24/2), kami juga berkesempatan mengunjungi Memorial Hall Shinsai Densho Kang. Berbeda dengan dua memorial hall sebelumnya, Memorial Hall Shinsai Densho Kang berupa gedung permanen dan sharing ruangan bersama salah satu konbini alias minimarket. Gedung memorial hall ini sejatinya adalah bekas statusin Nobiru, yang terletak di Kota HigatshiMatsushima di Prefektur Miyagi.
Fasilitas Memorial Hall Shinsai Densho Kang termasuk lengkap, mirip dengan Memorial Hall Minamihama Tsunagu-kan. Minus virtual reality, tetapi di gedung yang tersapu tsunami setinggi 3,7 meter ini, memiliki jam bekas stasiun yang berhenti tepat saat gempa terjadi dan mesin tiket kereta yang penyok. Dua benda itu di pajang sebagai pengingat. (bersambung)

FOTO: NURSOIMA/RADAR SULTENG
KOMBINASI MENARIK: Gedung Memorial Hall Shinsai Densho Kang di bekas stasiun Nobiru ini termasuk unik. Selain bangunan permanen, fasilitas ini juga sharing lokasi dengan mini market.