POSO – Kondisi Danau Poso yang terdampak atas beroperasinya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) memantik kepedulian sejumlah orang yang tergabung dalam Aliansi Penjaga Danau Poso (APDP). Mereka yang tergabung dalam APDP merupakan nelayan, petani, buruh, kelompok perempuan , pemerhati dan pegiat budaya.
Kepada wartawan, salah satu anggota APDP, Pdt Yombu Wuri, mengungkapkan, mereka yang bergabung dalam APDP tidak memiliki kepentingan pribadi dengan pihak PT Poso Energy, selaku pelaksana PLTA. Mereka dikumpulkan oleh keprihatinan terkait lingungan dan budaya yang terdampak atas hadirnya Poso Energy. “Kami dari APDP ini tidak berhubungan dengan kerugian materil dari PE. Murni kami hadir melihat lingkungan kami yang rusak dan juga budaya kami yang terganggu,” terang Yombu yang didampingi sejumlah anggota APDP lainnya.
Dan pada akhirnya APDP masuk untuk mengadvokasi para korban terdampak dari naiknya air danau akibat aktifitas Poso Energy, hal itu sudah jadi bagian dari perjuangan menjaga Danau Poso. Mereka yang tergabung dalam APDP, masih terus bertahan hingga saat ini, meski apa yang disuarakan telah habis tergilas oleh kepentingan. “Semua sudah kami suarakan. Kompo Dongi ditimbun, Yondo Pamona dihancurkan, situs-situs cagar budaya dirusak. Itu tidak didengar pemerintah. Karena kami anggap pemerintah terlalu dekat dengan PE,” tegasnya.
Dia sadar, mengapa perusahaan masih saja terus melakukan pengerukan muara Danau Poso, itu semua karena pemerintah memberikan izin. Saat APDP lantang bersuara, berharap mendapat dukungan dari lembaga-lembaga terkait, seperti Pemerintah Daerah maupun DPRD. “Kami merasa sendirian. Kami berjuang dalam senyap. Dan hanya bisa mengurut dada melihat kerusakan-kerusakan yang terjadi. Tapi kami tetap membesarkan hati, bahwa perjuangan ini masih panjang,” jelasnya.
Masih menurut Yombu, APDP punya pengalaman pahit. Di mana sejumlah lembaga yang awalnya ikut bersama berjuang, namun pada akhirnya didekati dengan iming-iming dan menyerah dengan perjuangan ini. Begitu juga warga terdampak, yang dalam kondisi terdesak, harus menerima kompensasi dari perusahaan, meskipun tidak sebanding dengan kerugian yang merea rasakan. “Mereka ini masuk di mana-mana dan tahu bagaimana cara mengalahkan perlawanan ini tentu dengan iming-iming uang,” paparnya.
Dia juga tegas mengatakan, bahwa pemerintah tidak berada di pihak masyarakat. APDP yang dating mengadu ke DPRD Poso pun, tidak pernah disambut baik. Bahkan ditinggalkan saat dialog. Dukungan masyarakat luas untuk tetap menjaga danau Poso, saat ini juga sulit terwujud. “Kami sudah berbagai upaya sadarkan masyarakat untuk tetap berjuang menjaga danau Poso, tapi tetap saja, kalau sudah dapat uang tentu tidak ada berpikir lagi untuk menjaga danau Poso dengan segala kekayaan alam dan budayanya,” sesal Yombu.
Seolah mendapat setitik sinar harapan, APDP kembali semangat untuk berjuang ketika mengetahui, bahwa Danau Poso kini masuk dalam usulan sebagai salah satu Geopark atau Taman Bumi di Indonesia. Artinya, jika Danau Poso telah ditetapkan sebagai Geopark Nasional oleh Kementerian ESDM. Yombu berharap dengan ditetapkannya Danau Poso sebagai Geopark Nasional maka Danau Poso dengan segala keragaman hayati, keragaman budaya dan bentang alam Danau Poso itu sendiri, tetap terjaga kelestariannya. (agg)