POSO – Kondisi Jalan Bada-Rampi sejauh 32 kilo meter yang merupakan daerah perbatasan antara Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan, belum mendapat perhatian serius, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah setempat.
Dua Kabupaten yang memiliki batas wilayah yaitu, Kabupaten Poso maupun Kabupaten Luwu Utara seakan tak berniat untuk memikirkan atau mengusulkan pembukaan jalan ini.
Sekretaris Umum Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) Pendeta Jetroson Rense, M.Th dalam keterangan persnya mengungkapkan, masyarakat di dua Kabupaten ini sering berinteraksi dalam dunia perekonomian, pendidikan dan kesehatan secara timbal balik. Sebab jarak Rampi-Bada lebih dekat dibandingkan Rampi-Masamba yang berjarak 80 kilo meter. “Dengan bermodalkan jalan setapak yang cukup ekstrim, para pengojek dan pejalan kaki harus bertaruh nyawa setiap hari demi menghidupi kebutuhan keluarga,” ujarnya.
Jetroson mengatakan, menyikapi keluhan warga jemaat GKST dan masyarakat yang ada di Rampi dan Bada, majelis Sinode GKST meminta seluruh jemaat untuk turun kerja bhakti, gotong royong memperbaiki jalan ini. Dukungan seluruh Warga jemaat GKST baik yang ada di Sulawesi Tengah, maupun yang ada di Sulawesi Selatan dengan berkoordinasi dengan pemerintah desa dan aparat keamanan di dua wilayah ini, maka kerja bhakti dilaksanakan tanggal 2-6 Mei 2022.
Ada seratus lima puluh warga jemaat dari Bada dan 450 warga jemaat dari Rampi turun di lokasi kerja sesuai dengan batas wilayah kabupaten masing-masing.
“Dengan bermodalkan pacul, sekop, linggis, dan peralatan manual lainnya, warga jemaat dengan semangat dan antusias mengerjakan perbaikan jalan setapak sejauh 33 kilo meter. Dalam bhakti ini, juga didirikan 3 rumah singgah sederhana tempat berteduh dan beristrahat,” jelasnya.
GOTONG ROYONG : Sejumlah warga ikut memperbaiki akses jalan Bada-Rampi. (IST)
Masih menurut Jetroson, Majelis Sinode GKST bersama pendeta-pendeta yang ada di wilayah Rampi dan wilayah Bada memimpin warga dalam pekerjaan ini secara langsung turun lapangan. Selama 5 hari 4 bermalam dan bertenda di hutan, dengan cuaca yang dingin disertai hujan.
Majelis Sinode GKST juga meminta dengan tegas, agar pemerintah pusat maupun daerah memperhatikan penderitaan warga masyarakat di dua wilayah ini. Selain akses jalan yang sulit, harga kebutuhan pokok di Rampi juga sangat mencekik kehidupan masyarakat.
Seliter bensin seharga Rp 25.000, kebutuhan semen persak Rp 370.000, tabung gas isi 3 Kg Rp 170.000 dan berbagai kebutuhan lain yang sangat sulit dan mahal. Jetroson menuturkan, selama lima hari empat malam Majelis Sinode tidur di hutan bersama warga, mereka menceriterakan bagaimana sulitnya jalan ini. T
Tokoh pemuda Bada bernama Ose, menceriterakan bagaimana mereka beberapa kali harus mengantarkan jenazah ke Rampi dengan dipikul dan berjalan kaki. Seorang lain menceritrakan dan menunjukkan tempat mereka terjatuh di tebing yang curam, karena jalan motor yang sangat sempit. Yang lain mengisahkan, saat dalam perjalanan mereka diterpa hujan dan badai dan mereka berteduh dengan beratapkan dedaunan.
“Majelis Sinode menyampaikan terima kasih kepada seluruh warga yang telah berpartisipasi dalam kegiatan bhakti ini. Terima kasih kepada aparat keamanan TNI-POLRI yang telah mengawal masyarakat. Terima kasih kepada Pemerintah desa yang juga turun langsung bersama warga masyarakatnya. Semoga kerja bhakti masyarakat ini, akan menjadikan jalan Bada-Rampi semakin baik dan bisa dilalui dengan aman dan selamat demi kemaslahatan umat manusia,” pungkasnya. (*/ron)