BERITA PILIHANDAERAHPOSO

Akibat Ambisi Membangun PLTA, Hilang Sudah Filosofi dan Sejarah Yondo Pamona

PROSES PEMBONGKARAN: Jembatan Pamona atau Yondo Pamona saat proses pembongkaran dan diganti dengan jembatan baru berbahan besi. FOTO: DOK. ALIANSI PENJAGA DANAU POSO
Dilihat

POSO – Meski telah dibangun kembali, filosofi hadirnya Jembatan Pamona atau Yondo Pamona telah hilang. Jembatan yang menggambarkan bagaimana eratnya masyarakat Pamona bekerjasama, tidak akan sama lagi seperti jembatan lama yang masih berbahan kayu.

Tokoh Masyarakat Tentena, Pdt Yombu Wuri menyampaikan, bahwa dahulu Yondo Pamona dibangun dengan cara bergotong royong. Jembatan tersebut dibangun pada abad ke 20, oleh warga dari segala pelosok di wilayah Pamona. Jembatan sepanjang 200 meter itu, dibangun agar memudahkan masyarakat Pamona mengangkut hasil buminya untuk dijual ke daerah lain.

Jembatan awalnya dibangun menggunakan bambu beratap rumbia. Dalam jangka waktu tertentu, masyarakat bergotong royong kembali bertemu di Yondo Pamona, untuk mengganti tiang-tiang bamboo yang lapuk. Hingga akhirnya di tahun 1960 an, Yondo Pamona diperkuat dengan material berupa kayu. Masyarakat pun turun kembali bergotong royong merehab Yondo Pamona yang menghubungkan Kelurahan Sangele dan Kelurahan Pamona ini.

Di tahun 1980an, Yondo Pamona oleh Pemerintah Provinsi Sulteng kembali dibangun, namun sama sekali tidak menghilangkan ciri khas dari jembatan tersebut. Hingga akhirnya pada Tahun 2019, PT Poso Energy masuk dan mengganti Yondo Pamona dengan material yang hampir seluruhnya terbuat dari besi. Ciri khas jembatan itu pun berubah. “Coba lihat sekarang di tengahnya tinggi sendiri, kalau dari jauh kayak punduk unta,”sesal Yombu.

Yondo Pamona yang lama, sangat diagung-agungkan masyarakat Tentena. Hingga pernah dibuatkan lagu oleh maestro seniman Tentena, almarhum Yustinus Hokey berjudul Yondo Pamona, bukti kebanggaan masyarakat Tentena. Namun sebelum meninggal, Yustinus mengaku tidak akan lagi pernah menyanyikan lagu Yondo Pamona, karena jembatan itu telah hilang. “Hilang bersama filosofi gotong royong masyarakat dan nilai sejarah jembatan itu,” tegasnya.

Adapun penggalan syair dalam lagu Yondo Pamona, sebut Yombu, Yondo Pamona yondo kupowani, ewa koloro marate tedindi, artinya jembatan seperti tali panjang yang direntangkan dengan kuat. Tali yang direntangkan, yang masing-masing ujungnya ditarik dengan arah yang berlawanan, akan terlihat lurus; tidak ada bagian tengahnya yang naik ke atas, seperti saat ini.

JEMBATAN BARU: Inilah jembatan baru yang dibangun PT Poso Energy menggantikan bangunan jembatan Yondo Pamona. FOTO: EDDY DJUNAEDI FOR RADAR SULTENG

Lanjut dia, tidak ada lagi yang bisa dibanggakan dari Yondo Pamona yang baru dibangun oleh PT Poso Energy. Jika dulu, untuk mengajarkan anak-anak tentang arti gotong royong cukup menunjuk ke Jembatan Pamona, kini tidak akan bisa lagi. “Dulu kami minta direhab saja, jangan dibongkar. Dan kalau pun dibangun lagi harus tetap gunakan kayu dan bangun seperti yang dulu. Jujur kami kecewa dengan bentuk jembatan saat ini,” tegas Yombu, yang juga merupakan anggota Aliansi Penyelamat Danau Poso (APDP). (agg)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.