BUAYA berkalung ban (biasa juga disingkat B3), sempat viral di medsos dan menjadi trending topic di beberapa tv nasional. Bahkan, kisah buaya ini sempat menjadi sorotan media internasional. Benar-benar si B3 ini telah menjadi ikon kota Palu. Kini, buaya itu telah ditangkap, ban yang mengalun di lehernya telah dilepaskan, dan kini ia telah dikembalikan ke habitatnya.
Adalah Tili (34) warga asal Sragen, dipandang sangat berjasa dalam penangkapan itu. Proses evakuasi pun dibantu oleh warga. Ada yang sempat bilang, ilmu Mas Hili lebih hebat dari pakar buaya asal Australia, Matt Wright.
Matt Wright, yang juga pembawa acara Monster Croc Wrangler dari National Geographic ini, pernah datang ke Palu untuk menangkap buaya itu. Tapi tidak berhasil. Ada juga yang datang, Panji Petualang (pakar penangkap reptil indonesia). Juga bernasib sama. Tak berhasil.
Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulteng pernah menggelar sayembara “Bebaskan Buaya Berkalung Ban”. Kini, ban itu sudah dilepaskan. Dan Mas Tili kiranya berhak atas sayembara itu, walaupun ia sendiri tak memikirkan akan sayembara itu.
Bisa dibayangkan, kalau sampai hari ini, atau hingga beberapa tahun mendatang, ban motor bekas itu tetap saja berada dibadan buaya tersebut. Itu dikhawatirkan akan semakin mencekik lehernya, seiring dengan pertumbuhan badannya yang semakin membesar.
Walaupun si B3 ini adalah hewan pemangsa, tak lantas kita harus membiarkan kondisinya seperti itu. Tentu kita wajib menolongnya, apalagi ia sudah dalam kondisi kesakitan. Dan perilaku luhur itu, telah ditunjukkan oleh sebagian masyarakat di sekitar jembatan II, Palu Selatan, beberapa hari lalu. Sekadar catatan, Buaya Muara berada di urutan 173 dalam daftar satwa yang dilindungi berdasarkan PP No 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Tak ada informasi yang pasti, bagaimana ban bekas itu ada pada tubuhnya. Ada cerita, karena ia mengira ban itu adalah mangsanya yang sedang bergerak (karena terbawa arus), maka langsung saja disergapnya.
Ada juga informasi lain. Yaitu, seorang pencari pasir yang terkejut dengan keberadaan sang buaya. Ia langsung melemparkan ban, dan benda itu tepat melingkar di badan buaya (yang ketika itu masih kecil). Ban itu awalnya melingkar pada bagian perut, lalu berpindang ke leher. Dan setelah itu tidak berpindah-pindah lagi.
Tentu si reptil itu kini telah begitu bahagia bergerak di aliran sungai Palu. Akankah kisah seperti ini akan terulang lagi? Semoga tidak. Dan kisah si buaya berkalung ban ini, tentu tak kalah hebatnya dengan kisah tsunami yang sempat merobohkan jembatan kuning. Barangkali Kota Palu sempat menjadi perbincangan dunia, antara lain karena, dari dua kisah ini.
Sempat terpikirkan, tidak salahkah bila dibuatkan tugu atau monumen tempat diselamatkannya buaya berkalung ban itu. Monumen dibuat agar anak cucu kita juga dapat mengetahui akan kisah yang sempat mendunia itu. Monumen itu juga sebagai peringatan buat kita semua, agar jangan sampai membuang sampah sembarangan yang bisa membahayakan mahluk hidup lainnya.
*) Penulis adalah Direktur Yayasan Pelita Bangsa, Sulawesi Tengah.