BENCANABERITA PILIHANDAERAHDONGGALAINTERNASIONALNASIONALNUSANTARAPARIGI MOUTONGSULAWESISULTENGSUMATERA

4 Tahun Bencana Pasigala, Laporan Kasus KDRT Mendominasi

DAMPINGI PENYINTAS: Direktur Ekseskutif LiBu Perempuan Sulteng, Dewi Rana Amir, saat melakukan pendampingan warga penyintas di Huntara beberapa waktu lalu. (MUGNI SUPARDI)
Dilihat

PALU-Masih adanya penyintas yang menempati hunian sementara (Huntara) pascabencana yang terjadi pada 4 tahun silam, membuat Direktur Ekseskutif Lingkar Belajar untuk Perempuan (LiBu Perempuan) Sulteng, Dewi Rana Amir, perihatin. Aktivis perempuan dan anak ini berharap warga di Huntara bisa segara dipindahkan ke hunian tetap (Huntap).

Kepada Radar Sulteng, Dewi mengatakan berpindahnya warga penyintas bencana ke Huntap bukan hanya bisa membuat mereka bisa menata perekomonian keluarga secara baik dan lebih terencana. Namun juga diharapkan dapat menekan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak.

“Dengan begitu mereka juga bisa terhubung dengan akses bantuan ekonomi maupun pekerjaan, yang bisa menjadikan masa depan anaknya lebih terjamin dan berkurangnya angka kekerasan terhadap perempuan serta anak,” ujarnya.

Dewi mengungkapkan masih bermukimnya warga penyintas bencana di Huntara selama bertahun-tahun, cukup membuat tekanan hidup lebih tinggi. Inilah yang memicu munculnya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Khususnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

LiBu Perempuan Sulteng selama 2022 ini telah mememberikan bantuan atas laporan 10 kasus KDRT di Huntara Poboya dan beberapa laporan dari Huntara lainnya. Pihaknya bekerja sama dengan Kemenkumham RI memberikan bantuan layanan hukum cuma-cuma. Meski ada beberapa bantuan terhadap kasus, harus ditunda sampai tahun depan mengingat kuota yang terbatas.

Layanan bantuan pengaduan dan mekanisme rujukan ini, terang Dewi, juga termasuk menghubungkan warga dengan akses bantuan lainnya dari organisasi perengkat daerah (OPD) lainnya. Seperti Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) dan Dinas Sosial setempat.

“Utamanya dengan PKSHI, jika ada kasus-kasus seperti itu kita dapat bersinergi memberikan bantuan sosial bagi korban yang memang belum memiliki akses ke kelayanan atau bantuan-bantuan hukum tadi,” terang Dewi.

Dia pun kembali meng-highlight apa yang dilakukan pihaknya pada 2021 di Huntara. Saat itu edukasi tentang kekerasan berbasis gender, kesehatan reproduksi, hingga Covid-19, dijalankan dengan sasaran ibu-ibu yang memiliki balita serta anak-anak remaja di Kota Palu dan Sigi. Dewi mengungkapkan permasalahan anak di Huntara, juga menjadi perhatian pihaknya.

Dalam masa pendampingan pascabencana, Dewi mengungkapkan LiBu Perempuan menemukan 33 anak terlibat pernikahan dini di lokasi pengungsian. Masalah bagi tumbuh kembang anak lainnya di Huntara, sebutnya, juga masuk lingkungan yang tidak layak dari segi higenitas. Ruang privasi yang minim juga menjadi catatan penting karena bilik di Huntara terbatas.

“Saya kira sebagai anak mereka harus diberi ruang untuk tumbuh dan berkembang secara layak. Tentu saja dengan misalnya, ada ruang ramah anak. Kebutuhan ini akan terpenuhi ketika sudah berada di Huntap karena ruang ramah anak seperti ruang terbuka hijau itu ada,” tandasnya.(uq)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.